![]() |
Foto istimewa |
Oleh:
Zulfikran Bailussy – Pengamat Kebijakan Publik, Ketua LBH Ansor Maluku Utara
Ada masa ketika kekuasaan adalah panggilan, bukan warisan. Seorang pemimpin dipilih karena keberanian dan kebijaksanaannya, bukan karena kesamaan nama keluarga. Namun kini, dalam ruang pemerintahan lokal kita, aroma kekuasaan mulai berubah wujud menjadi seperti ruang tamu keluarga besar—kursi-kursi jabatan diisi oleh sanak saudara, dan meja rapat seolah berubah menjadi meja makan panjang yang hanya melayani satu marga.
Fenomena ini tentu bukan hal baru. Dalam sejarah kekuasaan, praktik dinasti politik selalu muncul ketika akal sehat dikalahkan oleh nafsu melanggengkan pengaruh. Dari masa raja-raja feodal hingga republik modern, penyakitnya sama: kekuasaan dianggap sesuatu yang bisa diwariskan seperti tanah dan kebun cengkih. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Aristoteles, politik adalah “the highest form of ethics” — bentuk tertinggi dari moralitas manusia dalam mengatur kehidupan bersama. Jika etika runtuh, maka kekuasaan kehilangan makna publiknya dan berubah menjadi panggung keluarga.
Dalam konteks etika publik, Max Weber pernah menyebut dua jenis etika dalam politik: ethic of conviction (etika keyakinan) dan ethic of responsibility (etika tanggung jawab). Pemimpin yang baik adalah mereka yang menyeimbangkan keduanya. Tapi di banyak daerah, etika tanggung jawab itu telah terkubur oleh nepotisme yang dibungkus dengan istilah “kepercayaan keluarga”. Padahal, kepercayaan publik bukanlah warisan genetis. Ia lahir dari kejujuran, integritas, dan hasil kerja nyata — bukan dari ikatan darah.
Kita sering lupa, bahwa setiap kali jabatan diisi oleh orang yang “sefamili”, maka ruang meritokrasi — tempat rakyat berhak naik karena kemampuan — pelan-pelan disingkirkan. Pemerintah berubah menjadi kerajaan kecil dengan simbol demokrasi. Ada bendera partai dan jargon pelayanan publik, tetapi di dalamnya berdenyut darah feodalisme yang tak pernah tuntas dipangkas. Lalu rakyat pun hanya menjadi penonton dalam drama kekuasaan keluarga, sambil bertanya dalam hati: “Apakah jabatan ini milik negara atau milik keluarga besar?”
Dalam filsafat moral, Immanuel Kant pernah menegaskan bahwa tindakan manusia hanya dapat disebut bermoral bila dilakukan karena kewajiban, bukan karena kepentingan. Maka seorang pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai warisan keluarga sejatinya telah menukar prinsip moral dengan ambisi pribadi. Ia tidak lagi menjalankan kewajiban kepada rakyat, tapi kepada garis keturunan.
Kita tidak perlu menyebut nama, karena tanda-tandanya terlalu jelas untuk disembunyikan: ketika kepala dinas, sekretaris, dan pejabat strategis semua memiliki kesamaan marga atau hubungan kekerabatan, maka sesungguhnya daerah itu sedang berubah menjadi perusahaan keluarga. Ironisnya, rakyat yang membayar pajak justru ikut menanggung ongkos pesta kekuasaan tersebut.
Hannah Arendt pernah memperingatkan bahaya banalitas kekuasaan — ketika orang berhenti berpikir kritis terhadap ketidakadilan karena semuanya dianggap “biasa saja”. Kita terbiasa melihat saudara diangkat menjadi pejabat, sepupu menjadi staf ahli, menantu menjadi kepala bagian, dan anak sulung menjadi direktur BUMD. Lalu kita menyebutnya “kepercayaan”. Padahal, itu adalah bentuk kemalasan moral dan korupsi struktural yang disamarkan dengan wajah kekeluargaan.
Sudah saatnya kita kembali menegakkan etika kekuasaan. Bahwa jabatan bukanlah warisan, melainkan mandat rakyat. Pemimpin yang bijak tidak akan menanam benih feodalisme baru di tanah demokrasi. Ia tahu bahwa menjaga kewarasan politik jauh lebih penting daripada mengabadikan nama keluarganya dalam struktur birokrasi.
Karena ketika jabatan diwariskan tanpa akal sehat, maka sejarah akan menulis mereka bukan sebagai pemimpin, melainkan penjaga silsilah kekuasaan. Dan bangsa ini, sesungguhnya, tak kekurangan nama keluarga — yang kurang hanyalah pemimpin yang berani menjaga warasnya kekuasaan.