Abubakar Abdullah: Guru di Kursi Birokrat

Editor: Admin

 


Oleh

Irfandi R. Hi Mustafa

“Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia”-Nelson Mandela. Pendidikan adalah jalan untuk menemukan makna hidup. Melalui pendidikan manusia belajar mengenal dirinya, menghargai orang lain, dan menata dunia dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Pendidikan di Maluku Utara merupakan proses pembangunan manusia yang terus berkembang di tengah kondisi geografis kepulauan dan keragaman budaya yang kaya. Sebagai wilayah yang tersebar di berbagai pulau, tantangan utama pendidikan di Maluku Utara terletak pada akses, pemerataan mutu, dan ketersediaan tenaga pendidik di daerah terpencil. Meski demikian, semangat masyarakat untuk memperoleh pendidikan semakin meningkat seiring dengan dukungan pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan komunitas lokal yang berupaya memperluas kesempatan belajar bagi semua lapisan masyarakat.

Ruang-ruang kelas di pelosok Maluku Utara, di antara debu kapur tulis dan semangat anak-anak yang haus akan ilmu, terdapat sebuah kebenaran mendasar tentang pendidikan yang sering kali terlupakan oleh para birokrat di balik meja-meja gemerlap. Pendidikan bukan sekadar tentang angka, statistik, dan laporan triwulan. Pendidikan adalah tentang manusia, tentang hati, tentang hubungan antara guru dan murid, tentang menyalakan api keingintahuan, bukan sekadar mengisi bejana pengetahuan. Dan dalam landscape birokrasi pendidikan kita yang kerap terjebak dalam formalitas dan prosedur, kehadiran Abubakar Abdullah disapa AKA sebagai Kepala Dinas Pendidikan Maluku Utara bagai oase di tengah gurun, sebuah pengingat bahwa jiwa keguruan tidak harus pupus ketika menduduki kursi birokrasi.

Dari Depan Kelas ke Balik Meja Kantor: Sebuah Perjalanan yang Tak Melupakan Asal

Sebelum namanya tercatat sebagai pejabat eselon, AKA pada hakikatnya tetap seorang guru. Pengalaman ini bukan sekadar titik awal dalam perjalanan karirnya, melainkan fondasi yang membentuk seluruh filosofi kepemimpinannya. Seorang guru yang pernah berdiri di depan kelas memahami bahwa setiap anak yang tampak malas mungkin menyimpan trauma, bahwa setiap nilai merah bukan sekadar indikator kegagalan tetapi sinyal untuk pendekatan yang berbeda, bahwa di balik setiap guru yang kurang semangat mungkin terdapat beban hidup yang tak terlihat. Pemahaman humanis inilah yang dibawa AKA ke dalam setiap perumusan kebijakan, membuat keputusannya tidak pernah kering dari pertimbangan psikologis dan sosiologis.

Kunjungan yang Bermakna: Ketika Birokrat Menjadi Pendengar yang Aktif

Ketika banyak pejabat memilih menghabiskan waktu di ruang rapat ber-AC, AKA justru memilih menyeberangi lautan untuk mengunjungi sekolah-sekolah di pulau terpencil. Namun, yang membedakan kunjungannya bukan sekadar frekuensinya, melainkan kedalaman dan kualitas interaksinya.

Berdasarkan dokumentasi yang tersebar, kita dapat menyaksikan AKA tidak hanya berfoto formal dengan latar belakang gedung sekolah. Ia duduk lesehan di lantai bersama para guru, berlayar dengan perahu kecil berkunjung sekolah terpencil, menggaungkan “sekolah tanpa beban”, mendengarkan dengan saksama keluh kesah mereka tentang sulitnya mengakses materi ajar digital, tentang atap yang bocor ketika hujan, tentang betapa mahalnya transportasi untuk mengikuti pelatihan di kota. Ia tidak datang sebagai "pengawas" yang menilai, melainkan sebagai "rekan seperjuangan" yang ingin memahami. Bahkan lebih dari itu, AKA kerap membawa serta permasalahan guru honorer dalam setiap pertemuan dengan pemerintah daerah, memperjuangkan alokasi anggaran yang lebih adil bagi para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Ini adalah tindakan seorang guru sejati, seorang yang membela anak buahnya di meja yang lebih tinggi.

Kebijakan yang Bernapaskan Empati

Pemahaman mendalam yang didapat dari kunjungan lapangan ini kemudian diterjemahkan menjadi kebijakan-kebijakan yang menyentuh akar persoalan. Perhatiannya pada pembenahan infrastruktur sekolah di daerah tertinggal, ketika AKA memperjuangkan perbaikan atap yang bocor atau pembangunan toilet yang layak, ia melakukannya dengan kesadaran penuh bahwa lingkungan belajar yang tidak manusiawi akan membunuh motivasi belajar siswa dan mengikis martabat seorang guru.

Demikian pula, perhatiannya terhadap kesejahteraan guru, terutama yang berstatus honorer, lahir dari pengalaman langsung memahami betapa beratnya konsentrasi mengajar ketika pikiran terbebani oleh urusan perut. Seorang birokrat murni mungkin akan berargumen tentang efisiensi anggaran dan beban fiskal, tetapi seorang "guru di kursi birokrat" akan melihatnya sebagai investasi pada martabat dan dedikasi—dua hal yang tidak ternilai harganya dalam proses pendidikan.

Mengajar Melalui Kebijakan: Visi Pedagogis dalam Aksi Birokrasi

Keunikan lain dari kepemimpinan AKA adalah kemampuannya "mengajar" dari tingkat kebijakan. Dalam setiap rapat perencanaan dengan jajarannya, atau dalam pertemuan dengan kepala sekolah se-Maluku Utara, ia tidak hanya membagikan selembar surat instruksi. Seperti seorang guru yang baik, ia menjelaskan "mengapa" di balik "apa" yang harus dilakukan. Ia membangun narasi bersama, mengajak semua pemangku kepentingan untuk memahami filosofi di balik sebuah program, sehingga eksekusinya tidak dilakukan dengan nuansa perintah, tetapi dengan semangat misi bersama.

Pendekatan ini mengubah dinamika birokrasi dari yang bersifat top-down menjadi lebih kolaboratif. Para kepala sekolah dan guru tidak merasa sebagai pelaksana pasif, tetapi sebagai mitra aktif dalam mewujudkan visi pendidikan Maluku Utara yang lebih baik. AKA, dengan demikian, tidak hanya memimpin, tetapi juga mendidik para pemimpin pendidikan di bawahnya untuk menjadi lebih peka, reflektif, dan visioner.

Warisan Abadi: Jiwa, Bukan Hanya Jejak Administratif

Perspektif yang lebih luas, kehadiran AKA adalah sebuah kritik halus terhadap birokrasi pendidikan kita yang kerap terlalu terpesona pada angka dan target yang terukur, namun abai terhadap hal-hal yang tidak terukur seperti semangat, martabat, dan hubungan manusiawi. Ia membuktikan bahwa efektivitas sebuah kebijakan justru meningkat drastis ketika dirancang dan diimplementasikan oleh mereka yang tidak kehilangan kepekaan dan jiwa keguruannya.

Warisan terbesar yang ditinggalkan AKA mungkin bukanlah program A atau B, bukan sekadar gedung sekolah yang dibangun atau menggratiskan sekolah. Warisan sejatinya adalah sebuah paradigma baru tentang bagaimana seharusnya seorang birokrat pendidikan bertindak: dengan hati seorang guru, visi seorang pemimpin, dan ketekunan seorang pelayan publik. Ia mengajarkan bahwa kursi birokrat hanyalah sebuah alat. Ketika yang mendudukinya adalah seorang guru sejati, maka dari sanalah akan lahir kebijakan-kebijakan yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga beradab secara moral—kebijakan yang tidak hanya memenuhi target di atas kertas, tetapi juga menyentuh kehidupan dan menyalakan harapan di ruang-ruang kelas paling terpencil sekalipun. Inilah esensi sejati dari pendidikan, dan AKA telah menjadi living proof-nya bagi Maluku Utara. (**

Share:
Komentar

Berita Terkini