![]() |
foto istimewah |
Ternate, 12 Oktober 2025 – Sebagai langkah proaktif dalam menghadapi risiko bencana, serangkaian organisasi ahli—Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), dan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP)—bersama empat universitas ternama di Maluku Utara menggelar Field Trip edukatif ke Geosite Foramadiahi dan kawasan rawan Banjir Rua. Kegiatan yang menyasar mahasiswa dan masyarakat umum ini menjadi sarana vital untuk memahami dan memitigasi bencana secara langsung dari laboratorium alam Ternate.
Kegiatan ini bertujuan membangun kesadaran akan ancaman nyata di sekitar kita. Rusni Rasid Rifai, selaku Ketua Panitia, menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah memberikan pemahaman mendalam tentang fenomena Banjir Rua sebagai bahaya yang tidak bisa diabaikan. "Kegiatan ini dapat memberikan pemahaman mendalam tentang fenomena banjir rua sebagai ancaman dan bahaya yang nyata di kawasan tersebut," tegasnya.
Peserta diajak menelusuri langsung jalur aliran sungai yang pernah menjadi saksi bisu dahsyatnya Banjir Rua. Lokasi ini bukan hanya catatan sejarah aktivitas vulkanik, tetapi juga berfungsi sebagai kelas terbuka untuk mempelajari morfologi dan endapan material Gunung Gamalama.
Di lokasi, Abdul Kadir D. Arif dari IAGI Maluku Utara menunjukkan bukti-bukti geologis yang mengkhawatirkan. "Terdapat material lepas seperti tanah, batuan, kerikil, dan pasir di sisi kiri dan kanan badan sungai dengan kondisi yang sangat tidak stabil," jelasnya. Ia memperingatkan bahwa material ini, jika dipicu oleh hujan deras, memiliki potensi besar untuk berubah menjadi banjir bandang yang merusak.
Perjalanan edukatif berlanjut ke Geosite Foramadiahi, di mana peserta disajikan pemandangan singkapan batuan purba berusia 2,7 juta tahun. Batuan dari fase Gamalama Tua ini memberikan perspektif luar biasa tentang sejarah panjang pembentukan geologis Ternate, mengingatkan kita bahwa kita hidup di atas daratan yang dinamis dan terus berubah.
Ancaman geologis ini menuntut solusi perencanaan yang cerdas. Taufik, anggota IAP Malut, menekankan pentingnya penataan ruang berbasis mitigasi bencana. "Kota Ternate ini rawan erupsi, longsor, dan bencana lainnya. Masyarakat harus mengenali zona-zona bahaya seperti zona merah, kuning, dan hijau," paparnya.
Prinsip utama yang digarisbawahi adalah pemetaan risiko, pengaturan tata guna lahan yang ketat, pembangunan infrastruktur pelindung, serta edukasi berkelanjutan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan.
Sebagai pelengkap, HAGI Malut memperkenalkan inovasi teknologi pemantauan gempa. Rohima Wahyu Ningrum mendemonstrasikan Raspberry Shake, sebuah alat perekam gempa mikro yang sangat sensitif. "Tujuannya adalah untuk menentukan daerah mana saja yang rentan secara seismik. Data ini sangat krusial untuk pengembangan wilayah dan kota, agar kita bisa melokalisasi zona rentan dan zona aman," terang Rohima.
Melalui kegiatan kolaboratif ini, diharapkan tumbuh kesadaran kolektif yang mendorong penerapan ilmu kebumian dan perencanaan tata ruang yang lebih baik. Sebuah langkah nyata untuk mewujudkan Ternate yang tangguh dan sadar bencana. (red/pm)