Ketika Data Dipalsukan dan Hak Anak Kandung Diabaikan

Editor: Admin
Foto istimewa 

Oleh: Muh Syarwan Idris

Direktur Bidang Hukum dan HAM LKBHMI Cabang Jakarta Pusat–Utara

Sengketa lahan dan bangunan di Indonesia hampir selalu berangkat dari persoalan klasik: lemahnya transparansi, ketidakjujuran data, serta pengabaian terhadap pihak-pihak yang sesungguhnya memiliki hak hukum. Salah satu pola sengketa yang kerap muncul adalah transaksi jual beli yang dilakukan secara sepihak oleh istri kedua, tanpa melibatkan anak kandung sebagai ahli waris sah. Lebih memprihatinkan lagi, praktik ini sering disertai pemalsuan atau pengaburan data kepemilikan. Fenomena tersebut tidak hanya menciptakan konflik berkepanjangan, tetapi juga mencederai prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Dalam perspektif hukum perdata, setiap perjanjian harus memenuhi syarat sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Syarat tersebut meliputi kesepakatan para pihak, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Persoalan muncul ketika pihak yang menandatangani perjanjian jual beli ternyata tidak memiliki kewenangan penuh atas objek yang diperjualbelikan. Jika tanah atau bangunan tersebut merupakan harta warisan atau harta bersama dari perkawinan sebelumnya, maka istri kedua tidak dapat secara sepihak mengalihkan hak atas objek tersebut.

Anak kandung memiliki kedudukan hukum yang kuat sebagai ahli waris, baik menurut hukum perdata maupun berdasarkan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Pengalihan hak atas harta warisan tanpa persetujuan seluruh ahli waris merupakan perbuatan hukum yang cacat. Dengan demikian, perjanjian jual beli yang hanya ditandatangani oleh istri kedua, tanpa melibatkan anak kandung, sejatinya telah mengabaikan prinsip kesepakatan para pihak yang berhak. Konsekuensinya, perjanjian tersebut berpotensi batal atau setidaknya dapat dibatalkan melalui mekanisme hukum.

Masalah menjadi jauh lebih serius ketika transaksi tersebut dibangun di atas data yang tidak benar. Pemalsuan status kepemilikan, penghilangan fakta adanya ahli waris lain, atau manipulasi hubungan keluarga merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap asas itikad baik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini menuntut kejujuran dan keterbukaan sejak tahap perundingan hingga pelaksanaan perjanjian. Ketika fakta-fakta penting sengaja disembunyikan, maka perjanjian tersebut kehilangan legitimasi moral dan yuridis.

Dari sudut pandang yuridis, tanda tangan istri kedua dalam perjanjian jual beli tidak dapat serta-merta mengesampingkan hak anak kandung. Tanda tangan tersebut hanya memiliki kekuatan hukum sejauh yang bersangkutan memang berwenang sebagai pemilik hak. Tanpa persetujuan atau kuasa tertulis yang sah dari seluruh ahli waris, perjanjian tersebut mengandung cacat subjektif yang membuka ruang gugatan hukum di kemudian hari.

Lebih lanjut, penggunaan data palsu atau keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya tidak hanya berdampak pada keabsahan perjanjian secara perdata, tetapi juga dapat menyeret para pihak ke ranah pidana. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas mengatur bahwa pemalsuan surat atau penggunaan keterangan palsu yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain merupakan tindak pidana. Dengan demikian, sengketa lahan semacam ini tidak dapat dipandang sebagai persoalan privat semata, melainkan juga menyangkut kepentingan penegakan hukum secara luas.

Dalam konteks hukum pertanahan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan secara terang, nyata, dan melibatkan subjek hukum yang sah. Ketika transaksi dilakukan secara sepihak dan berbasis data yang dipalsukan, tujuan utama pendaftaran tanah—yakni memberikan kepastian hukum—justru gagal terwujud. Yang muncul bukan kepastian, melainkan konflik yang berlarut-larut.

Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi refleksi bagi para profesional hukum, khususnya notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Prinsip kehati-hatian bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bagian integral dari perlindungan hak asasi manusia, terutama hak anak kandung sebagai ahli waris yang sah.

Pada akhirnya, sengketa lahan akibat jual beli sepihak yang mengabaikan hak anak kandung merupakan potret buram lemahnya budaya transparansi hukum. Negara, melalui aparat penegak hukum dan institusi terkait, dituntut hadir secara tegas untuk memastikan setiap transaksi pertanahan berjalan jujur, adil, dan sesuai hukum. Tanpa komitmen tersebut, praktik pemalsuan data dan pengabaian hak ahli waris akan terus berulang, merusak kepercayaan publik, serta menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan masyarakat luas.

Share:
Komentar

Berita Terkini