MAKAYAKLO, MARIMOI, DAN MANAJEMEN SEKOLAH: MENATA PENDIDIKAN DENGAN SPIRIT BUDAYA MALUKU UTARA

Editor: Admin

 

Foto istimewa 

Irfandi R. Hi Mustafa

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Maluku Utara

“Sekolah adalah rumah”. Di Maluku Utara bukan hanya infrastruktur tempat belajar tetapi ia adalah rumah kedua yang berdiri tegak di tengah denyut budaya. Setiap pintu kelas, halaman sekolah, hingga suara guru mengajar sesungguhnya selalu membawa jejak tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi (tak pernah mati). Tetapi, hari ini muncul pertanyaan penting; apakah sekolah-sekolah kita masih berdiri di atas akar budaya itu? Atau telah hanyut dalam sistem yang serba administratif dan birokratis?

Berangkat dari sinilah urgensi manajemen sekolah berbasis kearifan lokal menemukan relevansinya. Bukan hanya karena romantisme masa lalu, tetapi karena masa depan yang membutuhkan fondasi yang lebih manusiawi. Nilai Makayaklo (Gotong Royong) yang umumnya sering diucapkan oleh suku Makian yang memiliki makna tidak lain mengajarkan nilai, solidaritas, dan integrasi sosial di Maluku Utara. Selain itu, semboyang Marimoi Ngone Futuru (bersatu kita maju) yang menjadi dua pilar budaya yang dapat menghadirkan wajah baru tata kelola sekolah, sehingga lebih kolaboratif, lebih partisipatif, dan lebih membumi dalam konteks masyarakat kepualauan terutama di Maluku Utara.

Makayaklo sebagai Fondasi Manajemen Sekolah

Dilhat dari banyak kasus, sekolah dikelola secara top-down sehingga keputusan dibuat oleh satu pihak dan lainnya sekadar menjalankan. Model seperti ini sangat mungkin efisien di atas kertas, tetapi sering gagal menjawab kebutuhan realitas sosial.

Nilai Makayaklo manawarkan solusi dari kerja sama sebagai prinsip manajerial. Di sinilah guru, siswa, komite sekolah, tokoh adat, orang tua hingga pemuda desa memiliki ruang untuk bersuara dan terlibat. Bayangkan sebuah sekolah yang melibatkan masyarakat dalam merancang program tahunan, mengundang tokoh adat untuk memberikan masukan tentang pendidikan karakter, menjadikan gotong royong sebagai bagian dari kurikulum kehidupan, selain itu mengelola konflik dan masalah sekolah melalui musyawarah sosial, bukan hanya rapat formal.

Makayaklo bukan hanya tradisi kerja fisik, tetapi sebuah sistem sosial yang memperkuat rasa kepemilikan. Jika program sekolah disusun bersama, maka keberhasilannya juga dirawat bersama.

Marimoi Ngone Futuru: Semboyang Menjadi Strategi Kepemimpinan

Seingkali semboyang budaya hanya dipasang di banner sekolah atau disebut saat upacara. Namun, nilai Marimoi Ngone Futuru seharusnya menjadi strategi besar manajemen. “Sekolah maju bukan karena satu orang sangat hebat, tetapi karena banyak orang bergerak dalam satu arah yang sama”.

Berdasarkan praktiknya bahwa prinsip hadir dalam hal manajemen konflik berbasis dialog yang bukan hanya instruksi satu arah, penguatan peran guru bukan sebagai bawahan kepala sekolah tetapi mitra berpikir, kolaborasi antar sekolah untuk saling berbagi praktik baik, bukan saling bersaing angka akreditasi, selanjutnya harus ada penciptaan kepemimpinan kolektif yang mana kepala sekolah tidak berjalan sendiri melainkan menjadi koordinator energi sosial di sekolahnya. Dengan demikian, manajemen sekolah bukan sekadar administrasi yang rapi tetapi kepemimpinan yang hidup dan dirasakan.

Sekolah yang Menyatu dengan Kehidupan masyarakat

Provinsi Maluku Utara ini merupakan wilayah kepulauan dengan identitas maritim yang kuat. Sehingga sekolah yang serba formal, kaku, dan terputus dari lingkungan sosial akan sulit bertahan. Maka, sistem pendidikan yang baik justru harus mampu mneyerap kearifan laut dan pulau sebagai sumber belajar, selain itu, memasukkan budaya lokal dalam kurikulum projek berbasis pengalaman, dan menghadirkan ruang aman untuk peserta didik untuk tumbuh sebagai anak bansa dan anak daerah.

Seorang siswa yang belajar menghormati budaya lokalnya akan lebih siap menjadi warga dunia, mereka tidak tercerabut dari akar. Mengapa ini menjadi penting hari ini? Kita hidup di zaman ketika identitas mudah kabur. Teknologi mendekatkan jarak informasi, akan tetapi juga menjauhkan nilai-nilai sosial. Sekolah menjadi benteng kokoh terakhir yang mampu mengembalikan hubungan manusia dengan budayanya.

Jika pendidikan hanya mengajarkan kecerdasan kognitif, maka yang lahir adalah generasi cerdas tapi rapuh. Jika pendidikan dibangun di atas budaya, maka yang lahir adalah generasi maju dan kokoh jati diri. Inilah yang disebut dengan manajemen sekolah berjiwa lokal dan berorientasi global.

Maluku Utara Punya Modal Menjadi Teladan

Maluku utara tidak kekuarangan potensi, yang dibutuhkan melainkan keberanian untuk menegaskan identitasnya. Dunia pendidikan nasional membutuhkan contoh bagaimana budaya tidak bertentangan dengan kemajuan dan Maluku Utara bisa menjadi jawabannya. Pikir saja sebuah sekolah dimana rapat kerja dimulai dengan nilai budaya sebagai pijakan bersama, evaluasi kinerja bukan hanya capaian angka tetapi kualitas hubungan sosial, kepemimpinan tidak menggurui tetapi menuntun, dan pendidikan tidak menghapus budaya tetapi sebaliknya yang saling menguatkan.

“Modern dalam budaya, kuat dalam budaya, bersih dalam manajemen, dan hangat dalam hubungan sosial”

Jika sekolah-sekolah di Maluku Utara mempraktikkan itu, maka dunia tidak hanya melihat kita sebagai wilayah kepulauan, tetapi sebagai pusat inspirasi pendidikan berbasis kearifan lokal. (Red/tim)

Share:
Komentar

Berita Terkini