![]() |
| foto istimewah |
Ternate — Para pedagang daging di Pasar Higienis Gamalama kembali angkat suara. Sudah hampir setahun mereka berjualan sambil waswas, bukan karena harga sapi yang naik-turun seperti emosi penonton sinetron, tetapi karena bangunan pasar yang makin hari makin miris kondisinya.
Atap bocor, lantai berlubang besar, hingga bagian bangunan yang tampak renta diterjang ombak menjadi pemandangan sehari-hari. Beberapa anggota DPRD Kota Ternate disebut sudah berkali-kali datang memotret kerusakan itu, tapi hasilnya tak lebih dari koleksi foto tanpa tindakan.
“Kerusakan ini sudah hampir 1 tahun. DPRD sering datang ambil foto, tapi sampai sekarang belum diperbaiki. Di bawahnya juga sudah berlubang besar, kami khawatir bisa rubuh kalau ombak besar,” ujar Pak Yadi, salah satu pedagang, Kamis (11/12/2025). Ada nada pasrah, tapi juga lelah—maklum, pedagang daging lebih suka mengiris daging daripada kesabaran.
Karena tak ingin dagangan mereka ikut ‘mandi hujan’, para pedagang terpaksa melakukan perbaikan swadaya. Patungan dana, gotong royong, bahkan menjadi tukang darurat, semua dilakukan agar lapak tetap bisa berfungsi.
“Kalau tidak kami perbaiki sendiri, kami sudah tidak bisa jualan,” tambah Yadi.
Keluhan serupa datang dari Habibah Limatahu. Setiap cuaca buruk menerjang, ia dan pedagang lainnya harus rela basah kuyup. Ancaman paling serius bukan hanya kenyamanan, melainkan kualitas daging yang bisa rusak saat terkena air hujan.
“Belum lama ini, waktu hujan dan angin, kami nggak bisa tempati tempat jualan. Kami sibuk lindungi daging supaya tidak rusak karena kena air,” tuturnya.
Habibah juga menyoroti tarif retribusi yang menurutnya tidak sebanding dengan fasilitas yang diterima. Dengan nada setengah getir, ia menyebut hitungannya: satu ekor sapi dikenakan retribusi Rp60 ribu, sementara dua ekor mencapai Rp150 ribu.
“Kami bayar setiap hari. Harusnya dengan beban sebesar itu, kami bisa menikmati fasilitas yang layak,” keluhnya.
Para pedagang berharap pemerintah kota tidak hanya memantau, tetapi juga bertindak. Bagi mereka, fasilitas yang aman dan layak bukanlah bonus, melainkan hak dasar yang seharusnya dipenuhi.
