![]() |
| foto istimewa |
Oleh :
Salim Taib
Pengamat Kebijakan Publik & Dosen UNUTARA
Khaleed M. Abou El Fadl Memberi temantik atas istilah otoritas (wewenang), lalu memetakan otoritas menjadi dua bagian, yakni otoritas koersif dan otoritas yang sifatnya persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum sehingga orang yang berakal sehat tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menurutinya.
Sedangkan otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif, ia merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan, antara otoritas yang sifatnya koersif dan otoritas yang sifatnya persuasif kedua-duanya memiliki kesamaan basis pengertian yakni “kemampuan”. Melacak makna otoritas secara teoritis oleh R.B. Friedman membedakan antara “Memangku otoritas” (being in authority) dan memegang otoritas (being an authority), menurut Friedman “memangku otoritas artinya menduduki jabatan resmi atau struktural yang memberinya kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan.
Sherly
Tjuanda berada di antara otoritas koersif fersi Khaleed dan memangku otoritas (being in authority) oleh Friedman,
kedua-duanya menempatkan Sherly pada posisi teratas yang dapat memberi arahan,
perintah, larangan dengan persuasif maupun pemaksanaan, dengan otoritas yang
dimilikinya, Sherly sebagai Gubernur memangku otoritas (being in authority) dan sekaligus pemegang otoritas koersif memiliki
perangkat organisasi dengan sejumlah manusia birokrasi yang bekerja di dalamnya
tentu semua orang yang terlibat bekerja sebagai ASN sudah pasti terpaksa
maunpun sukarela akan tunduk pada keinginan, kemauan, seorang Sherly Tjuanda
Laos karena Sherly secara normatif mempunyai otoritas sebagai Gubernur Provinsi
Maluku Utara.
Sherly
Tjuanda sang pemegang otoritas dan memangku otoritas memiliki kedigdayaan, kekuataan,
kekuasaan politik, perangkat birokrasi, jika dengan otoritas yang dimilikinya
itu diperuntukkan untuk kepentingan rakyat secara utuh bukan kepentingan
oligarki, bukan kepentingan pengusaha dibalik keputusan-keputusan strategis
Sherly itu sama dengan Sherly mengembalikan otoritasnya kepada pemegang
otoritas tertinggi yakni dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Distribusi
Otoritas
Suara kritis publik yang di suarakan dalam berbagai platform media sosial, fb, wa, instagram, maupun media cetak dan online kedengarannya sangat keras, tajam hanya pemangku otoritas yang tuli pafahal telinganya untuk mendengar, yang buta tidak dapat melihat padahal matanya dipergunakan untuk melihat, fakta, realitas mirisnya kehidupan sehari-hari rakyat. Distribusi otoritasnya hanya berdampak pada kepentingan segelintir orang.
Dalam kebijakan publik, sebelum terjadi distribusi otoritas, atau kewenangan yang didistribusikan kita patut menganalisis keterlibatan para actor yang bermain, yang mempengaruhi secara langsung maunpun permainan di belakang layar lahirnya sebuah kebijakan publik, pada konteks ini judul tulisan Sherly Memegang Otoritas menemukan revansinya bahwa sherly sang gubernur secara formal melegitimasi dirinya pemegang otoritas dan sekaligus mendistribusikan otoritasnya siapapun tidak dapat menghalanginya, kita lihat Sherly dengan kapasitas personalnya, adakah nilai otoritas persuasif dengan kemampuan pengetahuannya, kemampuan narasinya dapat melahirkan ketundukan bawahan dan semua orang yang mengililingi kekuasaan yang dimiliki Sherly.
Kita
coba menguji distribusi otoritas Sherly dalam hal jalan Trans Kie Raha yang
menghubungkan Sofifi-ekor-kobe yang oleh Gubernur Sherly Tjoanda Laos
menegaskan komitmennya merealisasikan pembangunan jalan Trans Kie Raha sebagai
salah satu program prioritas untuk mempercepat konektivitas dan mendorong
pertumbuhan ekonomi sofifi dan wilayah sekitarnya, penegasan tersebut
disampaikan dalam pidatonya pada sidang paripurna pembicaraan tingkat II R-APBD
induk tahun 2026, ruas jalan sepanjang 29 kilometer membutuhkan anggaran 90
miliar untuk lapisan sirtu, menurut Sherly pembangunan jalan trans Kie Raha
merupakan solusi atas minimnya konektivitas langsung menuju ibu kota provinsi
yang sudah 26 tahun berdiri, dengan akses jalan darat yang baru, perjalanan
dari sofifi ke bandara kobe yang sebelumnya 3 jam lebih, kini kalau jalan Trans Kie Raha jarak
tempuh perjalanan hanya satu jam.
Otoritas
yang dimiliki Sherly, pada kontek jalan trans kie raha berimplikasi pada
penganggaran yang telah di sahkan dalam apbd 2026 di angka yang fantastik
Sembilan puluh miliar, meskipun ada keterbelahan atas kebijakan ini, pada
spektrum yang lain bersikap menyetujui hal ini ditunjukan oleh Mukhtar Adam dengan
menggiring ISNU melaksanakan discourse
memberi penguatan terhadap jalan trans kie raha, dengan berbagai alasan, alasan
yang diberikan Mukhtar
Adam ketua ISNU Maluku Utara sama persis dengan Sherly Tjoada Laos Gubernur
Maluku Utara, yang membedakan hanyalah dengan dibangunnya jalan trans kie Raha,
warga yang berada di pulau-pulau terpencil tidak layak huni itu di translokkan
menuju jalan trans kie raha.
Pada
poros lain ekonom Asis Hasyim dan Muhammad I. Nurdin memiliki argumentasi yang
berbeda dengan Mukhtar
Adam, dari aspek konektivitas apa yang disambungkan, pertumbuhan ekonomi baru
yang mana, dari aspek kegunaan jalan trans kie raha siapa yang lebih prioritas
menggunakan jalan trans kie raha apakah masyarakat, atau para pemilik modal
yang mempunyai konsesi izin usaha pertambagan, nurdin pun menjelaskan lebih
prioritas Sherly membangun konektivitas tol laut, karena Maluku Utara adalah
daerah kepulauan, sejarah rempah adalah sejarah dan peradaban maritim untuk
Maluku Utara.
Dua pandangan yang berbeda diantara setuju dan
tidak ada persetujuan atas jalan trans kie raha Sherly tetap berada pada
komitmennya, tidak ada negosiasi, tidak ada “jeda perenungan” untuk Sherly berfikir kembali
ada hal yang lebih urgen dan mendesak bukan jalan baru, kebutuhan rakyat yang
mendesak, Galela-Loloda, Halmahera Barat ke halut jalan belakang ibu-sahu-kao,
sp enam wasile-Wasile Utara-Maba Utara, dan masih banyak lagi yang harus
dikoneksikan transportasi jalan,, bukankan pembukaan jalan baru itu membutuhkan
kajian akademik yang alurnya juga panjang karena dalam kajian akademik ada
analisis dampak lingkungan, belum lagi perubahan status wilayah dari hutan
lindung, hutan konsesisi, hutan taman nasional, perubahan-perubahan status ini
akan memamkan waktu yang panjang.
Suara
kritis publik atas kebijakan jalan trans kie Raha yang terbelah itu disadari
atau tidak, Sherly dengan kewenangan serta otoritasnya, baik “being In Authority” maupun Being An Authority dipastikan
terdistribusi, sekeras apapun kritik public, kewenangan atau otoritas itu
sifatnya memaksa semua komponen untuk tunduk dengan kepala tertunduk maupun
tunduk dengan kepala tegak lurus.
