![]() |
| Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (DPN FSBPI), Hartati Balasteng, |
Malut, Dalam momentum peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (DPN FSBPI), Hartati Balasteng, menyampaikan desakan tegas kepada pemerintah pusat maupun daerah agar menangani kasus kekerasan terhadap perempuan secara lebih serius dan terukur.
Data Komnas Perempuan mencatat 1.197 kasus kekerasan terhadap perempuan di Maluku Utara, sebuah angka yang oleh Hartati—akrab disapa Tati—disebut sebagai bukti nyata bahwa tubuh dan kehidupan perempuan masih menjadi wilayah paling rentan di tengah masyarakat.
“Lonjakan kekerasan seksual yang diikuti kekerasan psikis dan fisik menandakan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan masih dibiarkan bekerja tanpa koreksi,” ujar Tati, Sabtu (06/12/2025).
Menurutnya, tingginya angka tersebut tidak dapat dilihat sebagai statistik semata. Ia menilai norma patriarki serta stigma terhadap korban masih sangat kuat, terutama di wilayah kepulauan seperti Maluku Utara, di mana banyak perempuan di desa dan pulau kecil kesulitan mengakses layanan pengaduan. Kondisi ini membuat 1.197 kasus tersebut berpotensi hanya menjadi “puncak gunung es”.
Tati menegaskan, momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) harus menjadi ruang penting untuk membuka kenyataan bahwa kekerasan berbasis gender adalah pelanggaran hak asasi, sehingga negara wajib hadir secara konkret.
“Pemerintah harus menyediakan layanan yang mudah diakses, mempercepat penanganan hukum, memperkuat UPTD PPA, dan menjamin pemulihan korban,” tegasnya.
Ia juga menyoroti rendahnya tingkat penyelesaian kasus yang hanya sekitar 30 persen, yang menurutnya menunjukkan bahwa perempuan korban di Maluku Utara sering mengalami kekerasan berlapis: disakiti oleh pelaku, lalu diabaikan oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Sebagai suara perempuan Maluku Utara, Tati menyerukan agar kampanye 16 HAKTP tidak berhenti sebagai slogan tahunan. Ia mendorong pendidikan gender di tingkat komunitas, perluasan ruang aman di desa-desa, mobilisasi solidaritas perempuan, serta tuntutan agar negara hadir tanpa syarat dalam upaya perlindungan korban.
“Kekerasan terhadap perempuan adalah kegagalan negara dan budaya dalam menghormati martabat perempuan. Dengan menyuarakan data, pengalaman korban, dan relasi kuasa yang timpang, kita menegaskan bahwa perjuangan perempuan harus terus digelarkan untuk melawan kekerasan dan merebut kembali ruang hidup yang adil dan aman bagi setiap perempuan di Maluku Utara,” pungkasnya.
Berita semacam ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan kekerasan berbasis gender tidak pernah selesai, dan setiap angka adalah kehidupan yang menuntut keadilan.
