![]() |
Foto istimewa |
Oleh: Abd. Assagaf
Joernalist
Di tengah derasnya arus modernisasi dan gempuran teknologi digital, satu per satu tradisi lisan Nusantara mulai tenggelam dari ruang ingatan kolektif generasi muda. Suku Makian, salah satu etnis besar di Maluku Utara, tak luput dari fenomena ini. Mereka memiliki tradisi lisan yang kaya, penuh makna, dan sarat nilai, salah satunya yang disebut jangan. Sayangnya, sastra lisan khas Makian itu kini nyaris hilang di telinga generasi Z.
Bagi masyarakat Makian, jangan bukan sekadar pantun atau sajak berirama. Ia adalah pengingat untuk menjaga lisan, menata kata agar selaras dengan kesopanan, budaya, serta kearifan lokal. Jangan lahir sebagai media ekspresi cinta, tetapi dalam bait-baitnya terkandung nilai filosofis yang dalam, bahkan sebagian masyarakat meyakini ada muatan magis dan mistik dalam tuturan jangan.
Pada masanya, jangan dibawakan oleh pujangga cinta yang lihai merangkai pantun penuh rasa. Kadang ia dimainkan berpasangan—mon (laki-laki) dan mapin (perempuan)—dengan iringan tifa atau petikan gambus, menciptakan suasana puitis sekaligus sakral. Lebih dari sekadar hiburan, jangan juga diyakini sebagai medium pendidikan moral, ajaran kesetiaan, hingga simbol harmoni rumah tangga.
Namun, bagi telinga generasi muda hari ini, terutama generasi Z, jangan terdengar asing. Jika dola bololo di Ternate atau dalil moro dan dalil tifa masih sesekali dipentaskan, jangan hampir tak lagi mendapat ruang. Anak-anak muda lebih akrab dengan aplikasi hiburan di gawai mereka ketimbang mendengar bait-bait puitis yang diwariskan leluhur.
Fenomena ini patut kita renungkan. Apakah kita rela membiarkan identitas kultural kita menguap begitu saja? Apakah jangan hanya akan tersisa sebagai catatan etnografi yang dingin, tanpa pernah lagi hidup dalam ruang kebudayaan kita?
Sebagai orang yang tumbuh dalam tradisi Maluku Utara, saya percaya bahwa jangan adalah warisan yang layak diselamatkan. Ia bukan sekadar artefak budaya, melainkan identitas yang membedakan kita dari bangsa lain. Melestarikan jangan berarti menghidupkan kembali semangat kebersamaan, nilai kesopanan, serta cinta kasih yang menjadi fondasi masyarakat Makian.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah daerah, komunitas budaya, akademisi, hingga generasi muda sendiri mengambil peran. Jangan bisa ditampilkan dalam festival budaya, diajarkan di sekolah, atau bahkan dikemas ulang melalui media digital agar lebih dekat dengan selera generasi sekarang. Tradisi ini harus diposisikan bukan sebagai barang kuno, melainkan sebagai aset budaya yang relevan dengan kehidupan modern.
Jika kita gagal menjaga jangan, maka kita bukan hanya kehilangan sebuah tradisi lisan, tetapi juga kehilangan sebagian identitas sebagai orang Makian. Mari kita renungkan, apakah kita ingin dikenal sebagai generasi yang membiarkan warisan leluhur lenyap begitu saja, atau generasi yang berani menghidupkannya kembali di tengah zaman yang kian cepat berubah. (Red/tim)