![]() |
Foto Gemini |
Oleh
Mukhtar A. Adam
Akademisi & Ketua ISNU MALUKU UTARA
Nilai Tukar Petani (NTP) di Maluku Utara per Agustus 2025 tercatat sebesar 106,23, turun 1,26% dibandingkan Juli 2025 yang mencapai 107,59. Penurunan ini mencerminkan realitas yang dihadapi para petani di provinsi kepulauan ini: harga produk pertanian yang mereka jual turun lebih tajam (-1,72%) dibanding harga kebutuhan rumah tangga yang harus mereka bayar (-0,47%). Dalam kata lain, petani menjual hasil panennya dengan harga lebih murah, sementara harga kebutuhan sehari-hari tetap tinggi.
Senyum di wajah mereka kian sulit terlihat, bahkan saat sekadar bersantai menonton TikTok atau mengikuti perbincangan ringan di pasar desa. Kemampuan berbelanja semakin menipis; untuk membeli makanan pokok saja sudah terasa berat, apalagi memenuhi kebutuhan tambahan seperti hajatan, upacara adat, atau kebutuhan sekolah anak-anak. Meski secara statistik NTP masih di atas angka 100, angka ini terasa hampa bagi mereka yang setiap hari berjuang menjaga dapur tetap mengepul.
Dinamika di setiap subsektor pertanian menampilkan kontras yang tajam. Tanaman pangan menunjukkan sedikit harapan, dengan kenaikan harga padi yang mencapai 0,54%, memberi angin segar bagi petani di daerah transmigrasi dan subahim. Meski demikian, kenaikan ini belum cukup signifikan untuk meringankan beban hidup secara keseluruhan. Perikanan juga menunjukkan sedikit kenaikan, sekitar 0,85%, terutama dari hasil budidaya di Morotai.
Hal ini membuat dapur nelayan sedikit terjaga, walaupun mereka harus menyeberangi lautan, menantang ombak dan arus demi membawa ikan segar ke pasar lokal. Namun, kondisi hortikultura jauh lebih memprihatinkan. Penurunan harga tomat dan cabai rawit yang mencapai 16,35% terasa menusuk, membuat lauk di dapur petani semakin terbatas. Di wilayah Jailolo, Tobelo, Galela, Malifut, hingga Waroro, petani harus menahan sabar karena pendapatan dari hortikultura menurun drastis, sementara kebutuhan sehari-hari tetap tinggi.
Perkebunan rakyat juga tidak luput dari tekanan. Cengkeh, yang menjadi komoditas andalan Maluku Utara, mengalami penurunan harga sekitar 0,73%, sebuah fenomena musiman yang berulang setiap kali musim panen tiba. Petani semakin memahami realitas bahwa aroma cengkeh yang dulu harum kini tak lagi memberi kesejahteraan seperti masa lalu. Peternakan pun ikut tertekan, dengan harga sapi potong turun hingga 1,05%, membuat peternak menghadapi ketidakpastian pendapatan yang sama.
Keadaan ini menegaskan betapa Maluku Utara sangat bergantung pada logistik antar pulau. Hortikultura hanya bisa bertahan jika kapal dari Manado tiba di dermaga tepat waktu; buah dan sayur harus diangkut dengan cepat agar tidak membusuk. Harga rempah seperti cengkeh dan pala sangat dipengaruhi pasar global. Ketergantungan ini menimbulkan risiko besar: gangguan kecil pada jalur distribusi bisa berdampak signifikan terhadap daya beli petani. Biaya logistik yang tinggi, harga input yang mahal, dan harga output yang mudah jatuh menjadi masalah struktural yang sulit diatasi.
Selain itu, minimnya hilirisasi komoditas membuat nilai tambah hampir seluruhnya hilang dari tangan petani. Banyak rempah dan hasil hortikultura dijual dalam kondisi mentah, sehingga keuntungan besar lebih dinikmati oleh pedagang dan eksportir. Keterbatasan infrastruktur distribusi semakin memperparah keadaan. Tanpa cold storage, harga ikan dan hortikultura mudah jatuh saat panen melimpah. Potensi ekspor yang besar seringkali tidak terealisasi, meninggalkan kerugian yang berulang kali dirasakan petani selama puluhan tahun. Masalah ini kerap dibahas dalam rapat dan forum pemerintah, namun jarang ada eksekusi nyata di lapangan.
Di tengah semua tekanan ini, wajah petani Maluku Utara tetap berusaha tegar. Mereka beradaptasi dengan kondisi alam dan pasar, menyeberang antar pulau demi menjual hasil panen, menunggu kapal datang ke dermaga, dan menahan diri saat harga turun tajam. Namun upaya ini saja tidak cukup. Untuk mengubah nasib petani, dibutuhkan strategi terpadu dan keberanian politik. Diversifikasi pasar hortikultura serta pembangunan rantai pasok antar pulau harus diprioritaskan agar harga tomat dan cabai lebih stabil. Hilirisasi rempah dan kelapa, termasuk pembangunan Kawasan Industri Rempah (Kie Raha), menjadi kunci agar nilai tambah bisa dinikmati langsung oleh petani.
Ekonomi maritim juga perlu diperkuat sebagai buffer. Pelabuhan dan fasilitas pengolahan di Halmahera Barat, Bacan, dan Tobelo harus diintegrasikan; penangkapan, pengolahan, dan distribusi tidak boleh berjalan terpisah. Dengan cara ini, petani, nelayan, dan pelaku usaha lokal bisa bergerak dalam satu ekosistem yang saling mendukung. Lebih dari itu, NTP seharusnya dijadikan indikator penting dalam kebijakan fiskal daerah, dimasukkan ke dalam APBD dan pemantauan Bappeda, agar nasib petani di 64 pulau berpenghuni tidak luput dari perhatian pemerintah.
Wajah petani yang suram hari ini adalah gambaran nyata dari tantangan struktural yang panjang dan kompleks. Namun, dengan perencanaan yang matang, infrastruktur yang memadai, dan keberpihakan kebijakan, wajah suram itu bisa berubah menjadi harapan. Harapan yang bukan hanya diukur dari angka statistik, tapi dari dapur yang tetap mengepul, lauk yang tetap tersedia, dan kehidupan yang lebih sejahtera bagi petani di seluruh penjuru Maluku Utara. (Red/tim)