![]() |
Foto istimewa |
Mukhtar A. Adam
Akademisi & Ketua ISNU Malut
Pilihan topik ini, dari hasil bacarita (diskusi) di WAG para pakar hukum, ekonomi, dan lintas keilmuan yang berkumpul dalam satu WAG, pagi ini sahabat Rimawan dosen UGM Yogyakarta, mengirim paparan Awalil Rizky, seorang ekonomi Brught Institute, mengambil topik Asesmen Saldo Anggaran Lebih, yang dipresentasekan di Jakarta, 14 September 2025, menjadi menarik untuk didiskusikan.
Saldo Anggaran Lebih (SAL) sering disebut sebagai “brankas negara”. Data LKPP menunjukkan, pada 2020–2024 nilainya selalu besar mencapai Rp388,11 triliun pada tahun 2020, kemudian turun menjadi Rp337,80 triliun pada tahun 2021, naik signifikan menjadi Rp478,96 triliun pada tahun 2022, dan stabil sekitar Rp457,54 triliun pada tahun 2024. Angka ini cukup besar, dan dalam paparannya Awalil mempertanyakan mengapa tidak disajikan dalam Neraca. Nilai sebesar itu, jika tidak diungkapkan secara jelas, akan memunculkan ketidaktransparanan dalam pengelolaan keuangan publik. Memang, SAL hanya disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang kemudian diikuti dengan penjelasan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Namun karena semuanya tetap merupakan bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah, maka secara formal sudah memenuhi unsur transparansi, sebab laporan keuangan bukan hanya neraca, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh.
Penggunaan SAL mulai menarik perhatian ketika pandemi Covid-19 memunculkan babak baru pelebaran defisit melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Dari situ kemudian lahirlah mekanisme penggunaan Saldo Anggaran Lebih sebagai penerimaan pembiayaan. Realisasinya ternyata bervariasi. Pada tahun 2020, penggunaan SAL mencapai Rp70,64 triliun untuk menutup defisit akibat pandemi Covid-19. Pada tahun 2021 jumlahnya melonjak menjadi Rp143,96 triliun untuk membiayai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sementara pada 2022 hingga 2023, jumlahnya menurun masing-masing menjadi Rp35 triliun dan Rp56,38 triliun. Menariknya, pada tahun 2024 SAL tidak digunakan sama sekali dan seluruhnya dijaga sebagai buffer menghadapi transisi politik.
Dari sisi regulasi, di atas kertas mekanisme penggunaan SAL sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di sana ditegaskan bahwa penggunaan SAL harus melalui persetujuan DPR yang dituangkan dalam UU APBN tiap tahun. Namun dalam praktik, pengaturan yang lebih rinci justru sering dilimpahkan kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Contoh yang paling nyata adalah PMK Nomor 88 Tahun 2024 yang memberi kewenangan pemerintah untuk menyalurkan pinjaman jangka pendek dari SAL kepada BUMN, BUMD, pemerintah daerah, hingga badan hukum lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengelola instrumen sebesar ratusan triliun hanya dengan dasar regulasi teknis setingkat peraturan menteri, bukan undang-undang, jelas menimbulkan pertanyaan hukum. Bagaimana peran legislatif dalam pengawasan? Apakah PMK 88/2024 sebenarnya merupakan bagian dari risalah rapat bersama Komisi XI DPR RI atau Badan Anggaran, sehingga sepanjang tahun 2024 tidak ada protes atas pemberlakuannya? Semua itu baru menjadi sorotan setelah aksi koboi Purbaya yang tiba-tiba menggelontorkan Rp200 triliun.
Dari perspektif standar akuntansi, kebingungan publik semakin terasa. PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang SAP memang menegaskan bahwa SAL tidak perlu disajikan di neraca karena dipandang bukan sebagai aset dalam arti akuntansi, melainkan buffer anggaran. Namun, ketika pemerintah mengumumkan akan menempatkan Rp200 triliun SAL di bank Himbara pada 2025, publik bertanya-tanya. Jika bisa diparkir di bank, bukankah secara substansi itu sebenarnya aset lancar?
Kebingungan ini semakin mencuat karena publik, terutama para ekonom, membandingkan dengan praktik di negara lain. Amerika Serikat, misalnya, memiliki kebijakan Rainy Day Funds yang dicatat sebagai aset lancar dalam neraca dan penggunaannya diatur secara ketat melalui fiscal rules. Jerman menggunakan Stabilization Fund yang dilaporkan dalam rekening khusus dan tetap tercatat dalam laporan posisi keuangan negara. Malaysia dan Filipina juga memiliki dana cadangan fiskal meski relatif kecil, tetapi posisinya lebih jelas karena ditampilkan dalam akun kas pemerintah. Indonesia berbeda, nilai SAL justru besar, penggunaannya sangat fleksibel, tetapi posisinya samar dalam laporan keuangan.
Ke depan, ada sejumlah hal yang mestinya diperhatikan. Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dengan melaporkan SAL tidak hanya dalam LRA dan CaLK, melainkan juga menampilkannya sebagai akun likuid dalam neraca, atau paling tidak dengan membuat laporan khusus tentang posisi dan penggunaan SAL. Untuk itu, revisi terhadap PP Nomor 71 Tahun 2010 bahkan perubahan UU Nomor 17 Tahun 2003 yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman perlu dipertimbangkan, agar UU APBN kembali berfungsi sebagai instrumen utama dalam mengatur kebijakan fiskal. Regulasi juga harus diperkuat dengan menegaskan peran UU APBN sebagai satu-satunya dasar penggunaan SAL, sementara PMK hanya boleh mengatur aspek teknis, bukan hal-hal substantif.
Di sisi lain, penempatan Rp200 triliun SAL di bank Himbara harus dikaji bersama Bank Indonesia agar tidak menciptakan kelebihan likuiditas yang bisa memicu inflasi. Indonesia juga dapat mengambil pembelajaran dari model rainy day funds Amerika Serikat yang mampu menggabungkan transparansi neraca dengan aturan penggunaan yang ketat.
Saldo Anggaran Lebih sejatinya telah menyelamatkan APBN di masa pandemi, tetapi dalam perkembangan terakhir berpotensi berubah menjadi “uang gelap” fiskal: ada, tetapi tidak terlihat jelas. Karena itu, sudah saatnya pemerintah bersama DPR menata ulang regulasi dan akuntansi terkait SAL agar publik benar-benar dapat melihat, mengawasi, dan memastikan bahwa brankas negara ini digunakan secara bijak.