Pilkades Antar Waktu dan Partisipasi Inkonstitusional

Editor: Admin

Oleh: 

Risman Damrin, SH

Pemilihan antar waktu (PAW) Kepala Desa adalah model pemilihan yang secara filosofi dapat dipahami sebagai mekanisme alternatif untuk mengisi kekosongan jabatan kepala desa akibat dari diberhentikan dan/atau berhenti secara sendiri. Alasan pemberhentian kepala desa sangat beragam, mulai dari akibat pelanggaran serius terhadap sumpah jabatan, berhenti secara sendirinya, atau bisa saja berhalangan tetap yakni misalnya meninggal dunia. Kurang lebih lima (5) desa di Kabupaten Halmahera Selatan baru saja melaksanakan pemilihan kepala desa antar waktu untuk mengisi kekosongan jabatan kepala desa, yang menurut penulis pada pelaksanaannya terdapat kekeliruan implementasi norma hingga dugaan pelanggaran administrasi yang berpotensi pada pembatalan hasil pemilihan antar waktu dimaksud. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa merupakan dasar hukum pelaksanaannya.

Kriteria keterwakilan peserta musyawarah desa dalam hal pembahasan teknis terkait mekanisme pemilihan bersama panitia, tidak berkaitan dengan keterwakilan jumlah pemilih dari masing-masing dusun, sehingga tidak boleh dimaknai lebih dari itu, apalagi dijadikan sebagai tolok ukur sebagai syarat baku untuk memilih. Dari perspektif proses, penegasan tentang interval waktu yang terhitung dari persiapan, pelaksanaan hingga pelaporan sesuai Pasal 47D ayat (2) Permendagri 65/2017 adalah;

a. pembentukan panitia pemilihan kepala desa antar waktu oleh BPD paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari terhitung sejak kepala desa diberhentikan;

b. pengajuan biaya pemilihan dengan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa oleh panitia pemilihan kepada penjabat kepala desa paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak panitia terbentuk;

c. pemberian persetujuan biaya pemilihan oleh penjabat kepala desa paling lama dalam jangka waktu 30 hari setelah diajukan oleh panitia;

d. pengumuman dan pendaftaran bakal calon kepala desa oleh panitia pemilihan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari;

e. penelitian kelengkapan persyaratan administrasi bakal calon oleh panitia pemilihan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari; dan

f. penetapan calon kepala desa antar waktu oleh panitia pemilihan paling sedikit 2 (dua) orang calon dan paling banyak 3 (tiga) orang calon yang dimintakan pengesahan musyawarah desa untuk ditetapkan sebagai calon yang berhak dipilih dalam musyawarah desa.

Beberapa poin di atas menurut penulis, Permendagri 65/2017 memberi ruang interval waktu yang cukup, selain mengharuskan adanya penganggaran melalui APBDes, panitia diberi ruang untuk melaksanakan PAW secara objektif dan komprehensif. Panitia memiliki tanggung jawab teknis untuk memastikan proses pelaksanaan hingga hasil yang berkualitas, oleh karena model pemilihan yang digunakan adalah pemungutan suara maka berkonsekuensi pada teknis administrasi pemilih yang dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih lagi ketika dipaksakan model partisipasi keterwakilan masyarakat justru membuka ruang konflik di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaan sederhana seperti;

Dasar hukum pemilihan dengan model partisipasi keterwakilan masyarakat harus dijelaskan secara terang dan tegas agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya, sebab tanpa pijakan normatif yang jelas, mekanisme tersebut berpotensi menyimpang dari prinsip demokrasi desa yang menuntut keadilan dan kesetaraan hak pilih. Problem menjadi semakin serius apabila dari sepuluh orang pemilih yang ditetapkan sebagai wakil masyarakat, enam di antaranya memiliki kedekatan personal, kekerabatan, atau kepentingan langsung dengan salah satu calon kepala desa, karena kondisi demikian secara logis akan mereduksi objektivitas pilihan dan mencederai asas kejujuran serta netralitas dalam pemilihan. Lebih jauh, model keterwakilan yang sangat terbatas tersebut secara sosiologis berimplikasi pada lemahnya legitimasi rakyat terhadap kepala desa terpilih, karena mandat kekuasaan tidak lahir dari kehendak mayoritas warga desa yang memiliki hak pilih, melainkan dari segelintir orang yang representativitasnya patut dipertanyakan. Oleh karena itu, seluruh pertanyaan tersebut tidak dapat diabaikan dan harus mampu dijawab secara hukum, prosedural, dan rasional agar proses pemilihan kepala desa antar waktu memiliki legitimasi, kepastian hukum, serta dapat diterima secara luas oleh masyarakat desa.

Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu yang tertuang secara rigid dalam Permendagri 65/2017 menegaskan dua model pemilihan; pertama, melalui musyawarah mufakat; kedua, melalui mekanisme pemungutan suara. Secara prosedural kedua model pemilihan tersebut harus didahului dengan proses persetujuan melalui musyawarah desa. Sekalipun nomenklaturnya adalah pemilihan kepala desa antar waktu, akan tetapi ketika pemilihannya menggunakan mekanisme pemungutan suara sebagai alternatif pilihan sepanjang mekanisme pemilihan tersebut disetujui dalam musyawarah desa yang melibatkan unsur masyarakat dan memperhatikan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih di desa, sehingga berkonsekuensi pada partisipasi menyeluruh dari masyarakat desa yang telah memenuhi kriteria pemilih pada umumnya untuk menggunakan hak pilihnya tanpa pengecualian. Ironisnya, pelaksanaannya justru berbanding terbalik, pemungutan suara dengan model keterwakilan partisipasi masyarakat dengan jumlah pemilih 10 orang pemilih adalah kekeliruan implementasi norma yang sejak awal menurut penulis adalah mekanisme inkonstitusional yang diduga orderan dari dinas terkait. Keterwakilan partisipasi 10 orang pemilih menurut penulis dapat digunakan apabila mekanisme pemilihan yang dipilih adalah model musyawarah mufakat yang secara prosedur disetujui oleh panitia bersama BPD dan unsur-unsur masyarakat yang dilakukan secara terbuka.


Sekalipun masa jabatan kepala desa di lima desa tersebut kurang dari satu periode, pemilihan dengan model partisipasi perwakilan masyarakat yang digunakan dalam pemungutan suara pemilihan kepala desa antar waktu menurut penulis adalah tindakan yang keliru. Model pemilihan tersebut menurut penulis adalah tindakan di luar ketentuan dan berkonsekuensi pada pembatalan hasil pemilihan kepala desa antar waktu di 5 desa tersebut. Untuk mengurai problem tersebut, pemerintah daerah memiliki beban tanggung jawab moril dan konstitusional untuk membuka ruang objektifikasi terhadap hasil pemilihan yang menurut penulis sangat subjektif, membatalkan, dan menggodok kembali pelaksanaan pemilihan kepala desa antar waktu sehingga ada jaminan legitimasi dan kepastian hukum terhadap proses dan hasil pelaksanaan pemilihan Kepala Desa Antar Waktu.


Lebih dari itu, implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Selatan Nomor 7 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Desa, menurut penulis tidak lagi relevan untuk diterapkan, oleh karena Perda tersebut menyempitkan ruang pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu hanya dapat dilaksanakan terhadap kepala desa yang diberhentikan akibat dari melanggar sumpah dan janji jabatannya. Tidak ada nomenklatur yang mengatur tentang PAW akibat dari berhentinya kepala desa secara sendiri atau berhalangan tetap (meninggal dunia) sehingga pada posisi tersebut menurut penulis terdapat kekosongan hukum (recht vacuum). Pada akhirnya terjadi inkonsistensi antara implementasi norma dan konteks pelaksanaannya sehingga hal tersebut berkonsekuensi pada pembatalan menyeluruh hasil pemilihan kepala desa antar waktu dimaksud. 

Share:
Komentar

Berita Terkini