![]() |
Foto istimewa |
Sayuti Melik S
Mahasiswa Pascasarjana & Pegiat Filsafat
Polemik politik dan hukum kembali mencuat di Halmahera Selatan setelah Bupati melantik empat kepala desa pada tanggal 25 Agustus 2025. Pelantikan ini bukan sekadar seremoni biasa, melainkan berkelindan dengan putusan sengketa di PTUN Ambon yang sebelumnya telah membatalkan Surat Keputusan terkait. Langkah bupati ini kemudian memantik kontroversi di ruang publik, terutama di kalangan praktisi hukum.
Salah satu komentar yang fallacy datang dari praktisi hukum Safri Nyong melalui komentarnya di FaktaHalmahera.com tertanggal 23 September 2025. Dalam pernyataannya, ia menyamakan tindakan bupati melantik 4 kepala desa yang sudah dibatalkan pengadilan dengan mukjizat Nabi Isa yang mampu menghidupkan orang mati. Analogi ini sangat sembarangan, karena tidak hanya mengaburkan ranah hukum dan agama, tetapi juga melahirkan kerancuan berpikir yang serius.
Pertama-tama, menyamakan tindakan administratif seorang bupati dengan mukjizat Nabi Isa adalah sebuah qiyas fasid (analogi rusak). Dalam filsafat Islam, terutama melalui tradisi logika Aristotelian yang diislamkan oleh Al-Farabi, Ibnu Sina, hingga Al-Ghazali, setiap analogi harus memenuhi prinsip illat (alasan kausal). Mukjizat Nabi Isa: menghidupkan orang mati adalah peristiwa transenden yang tidak tunduk pada hukum sebab-akibat biasa, karena ia datang langsung dari kehendak Allah (lihat Al-Qur’an, Ali Imran: 49). Sedangkan tindakan seorang bupati melantik kepala desa adalah tindakan administratif belaka, tunduk pada hukum positif, bukan menembus hukum metafisis.
Menyamakan keduanya adalah fallacy of category, sebuah kesalahan kategori. Mukjizat berada dalam ranah al-ghaib (yang transenden), sementara kebijakan bupati berada dalam ranah al-shahadah (yang empiris dan keduniaan). Filsafat Islam selalu membedakan wilayah ini: mukjizat tidak pernah bisa diukur dengan kriteria manusia biasa, apalagi dengan “trik” politik yang melawan hukum.
Safri Nyong, ketika menggunakan analogi “seperti Nabi Isa”, justru memperlihatkan kecerobohan epistemik karena:
1. Mengaburkan maqashid al-mukjizat
Mukjizat Nabi Isa dimaksudkan untuk meneguhkan kenabian, sebagai hujjah atas risalah yang dibawa. Sementara pelantikan kepala desa tidak memiliki dimensi ilahiyah, melainkan administratif yang terikat dengan tata negara. Menyamakan keduanya berarti tahrif al-ma’na, yakni menggeser makna dari tempatnya.
2. Tidak memahami mantiqul Islam
Logika Islam (mantiq) menekankan tamyiz al-mawdyu’—pembedaan yang jelas antara subjek dan objek. Nabi Isa bukan pejabat negara, dan bupati bukan nabi. Menyatukan keduanya dalam satu analogi adalah bentuk khalt (pencampuran yang rancu), sesuatu yang secara metodologis ditolak oleh al-Farabi maupun Ibnu Khaldun.
3. Menghancurkan kehormatan simbolik agama
Dengan menjadikan mukjizat sebagai bahan perbandingan politik sehari-hari, Safri terjebak pada istihza’ (pelecehan simbolik) yang justru merendahkan makna sakral. Mukjizat kehilangan bobotnya ketika dipakai hanya sebagai hiperbola untuk mengejek pejabat.
Dalam konteks keduniaan (al-dunyawiyyat), hukum tata usaha negara berfungsi sebagai qanun yang mengikat. Jika PTUN telah membatalkan SK, maka secara fiqh siyasah dusturiyyah (fikih tata negara), tindakan bupati wajib tunduk pada putusan tersebut. Menghidupkan kembali SK yang sudah gugur justru menyalahi asas keadilan dan kepastian hukum.
Dengan demikian, jika ingin menggunakan analogi Islami, yang lebih tepat bukanlah Nabi Isa, melainkan mufsid yang berusaha menentang hukum yang lebih tinggi darinya. Karena dalam filsafat politik Islam, siapa pun yang menolak hukum yang lebih tinggi (syariat atau konstitusi) disebut sebagai taghut; otoritas yang melampaui batas.
Analogi Safri Nyong bukan hanya keliru, tapi juga menyesatkan. Ia memanfaatkan simbol agama untuk menguatkan kritik hukum, padahal justru memperlihatkan dangkalnya pemahaman akan maqashid mukjizat.
Filsafat Islam menolak pencampuran yang rancu antara transendensi wahyu dengan prosedural politik. Nabi Isa menghidupkan orang mati atas izin Allah; bupati melantik kepala desa diduga dengan melawan hukum: dua hal ini tidak pernah bisa disejajarkan kecuali oleh mereka yang kehilangan disiplin berpikir.
Menyandarkan kritik hukum pada perbandingan teologis yang keliru justru merusak wibawa kritik itu sendiri. Alih-alih memperkuat argumentasi, Safri menurunkannya menjadi sekadar retorika murahan yang meminjam sakralitas agama.
Menyamakan mukjizat Nabi Isa dengan tindakan bupati adalah bentuk tafsir liar yang cacat logika, dangkal dalam filsafat Islam, dan berbahaya secara epistemik. Kritik politik mestinya dibangun di atas basis hukum dan akal sehat, bukan mereduksi mukjizat menjadi metafora politik yang konyol.
Seorang praktisi hukum mestinya berdiri di atas kepastian logika dan keteguhan teks hukum, bukan di atas kiasan serampangan yang mencomot mukjizat para nabi untuk sekadar mempermanis retorika. Ironisnya, di ruang publik kita kerap melihat “praktisi” yang lebih cepat mengutip langit ketimbang meneliti pasal, lebih rajin mencari metafora teologis daripada membuka kembali tafsir klasik yang otoritatif.
Padahal, menjadi praktisi bukanlah menjadi penyair yang bebas menebar majas. Ia dituntut menguasai tafsir, filsafat, dan hukum dengan kedalaman, agar kesimpulan yang dilahirkan bukan sekadar bumbu retorika tetapi berdiri kokoh dalam kebenaran argumentasi. Tanpa itu, seorang praktisi hanya menjadi komentator gaduh; lebih sibuk meminjam mukjizat daripada membaca kitab hukum dan kitab tafsir.
Maka jika Safri Nyong sungguh ingin menegakkan wibawa hukum, ia perlu menukar metafora dengan metodologi, menukar hiperbola dengan literatur, dan menukar kecerobohan dengan kesungguhan membaca. Sebab, tidak ada jalan menuju keluasan akal selain dengan iqra’ adalah perintah pertama yang diturunkan, bukan sekadar “berbicara” tanpa pijakan.
Jakarta, 23 September 2025