Pajak, Kemewahan Pejabat, dan Ironi Disparitas Sosial

Editor: Admin

Foto istimewa 

Mukhtar A. Adam

Akademisi & Ketua ISNU Maluku Utara 

Pajak adalah salah satu bentuk paling nyata dari kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Kontrak itu sederhana: rakyat membayar pajak, negara menyediakan pelayanan publik. Dalam teori, hubungan ini mestinya berlangsung adil dan timbal balik. Rakyat taat membayar pajak karena yakin uang mereka akan kembali dalam bentuk fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi publik, serta jaminan sosial yang memadai.

Namun, realitas di Indonesia sering jauh panggang dari api. Pajak yang dibayarkan rakyat setiap hari – entah lewat konsumsi, potongan gaji, atau harga barang yang sudah dibebani PPN – justru kerap terasa hanya menghidupi birokrasi. Rakyat membayar dengan setia, sementara sebagian pejabat asyik mempertontonkan kemewahan. Ironi semakin mencolok ketika jurang antara penghasilan pejabat dan rakyat makin melebar.

Mari kita tengok angka sederhana. Seorang pejabat publik bisa mengantongi Rp58–60 juta per bulan, belum termasuk fasilitas negara, tunjangan, rumah dinas, kendaraan, bahkan biaya operasional. Bandingkan dengan buruh yang hanya menerima upah minimum Rp2,1–5 juta tergantung wilayah. Artinya, penghasilan pejabat 15–25 kali lipat lebih besar daripada rakyat pekerja yang justru paling rajin membayar pajak konsumsi.

Bandingkan dengan negara lain. Di Jerman, rasio gaji menteri terhadap pekerja minimum hanya 8 kali lipat. Di Jepang 7 kali. Bahkan Singapura, yang dikenal “royal” menggaji pejabatnya, rasio itu mencapai 25 kali. Bedanya, rakyat Singapura melihat hasil nyata: transportasi publik efisien, layanan sosial prima, dan korupsi nyaris nol. Rakyat mereka rela membayar pajak tinggi karena yakin ada imbal balik.

Lalu bagaimana di Maluku Utara atau daerah-daerah lain di Indonesia? Kita justru sering menyaksikan pejabat punya dermaga pribadi, mobil mewah, bahkan rumah megah yang nyaris terputus dari realitas warganya. Sementara rakyat harus memikirkan ongkos transportasi sehari-hari, berjuang dengan harga beras yang melambung, atau antre di fasilitas kesehatan yang serba terbatas.

Yang paling ironis, justru rakyat kecil adalah pembayar pajak paling konsisten. Mereka mungkin tidak tercatat sebagai wajib pajak penghasilan, tetapi setiap kali membeli beras, rokok, bensin, minyak goreng, atau pulsa, mereka otomatis menyumbang PPN 11% dan cukai. Tak ada ruang untuk menghindar.

Sebaliknya, perusahaan besar atau individu kaya justru lihai mencari celah tax avoidance. Ada yang menyembunyikan keuntungan lewat laporan keuangan kreatif, ada pula yang mengalihkan asetnya ke luar negeri. Akibatnya, beban negara tetap jatuh pada rakyat bawah yang tak punya pilihan.

Indonesia sendiri hanya mampu mengumpulkan pajak sekitar 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh tertinggal dibandingkan Jerman (39%) atau Jepang (31%). Namun, beban psikologis yang dirasakan rakyat Indonesia terasa jauh lebih berat. Kenapa? Karena mereka jarang melihat hasil nyata dari kontribusi itu.

Di negara-negara maju, pajak yang tinggi berarti layanan publik yang memadai. Pendidikan murah bahkan gratis, transportasi publik efisien, kesehatan dijamin negara, dan jaminan hari tua tersedia bagi semua warganya.

Di Indonesia, lebih dari 60% APBN justru habis untuk belanja rutin birokrasi: gaji, tunjangan, perjalanan dinas, hingga biaya rapat-rapat yang sering hanya formalitas. Alokasi untuk belanja produktif seperti pendidikan, kesehatan, atau perlindungan sosial, sering tersisih. Maka tak heran jika rakyat merasa seperti membayar pajak tanpa imbal hasil yang sepadan.

Konsekuensi dari pola ini jelas: ketimpangan sosial melebar. Data Bank Dunia menunjukkan rasio gini Indonesia berada di kisaran 0,38–0,40, yang menandakan kesenjangan relatif tinggi. Rakyat harus bertahan dengan biaya hidup yang kian berat, sementara sebagian pejabat menikmati kemewahan tanpa rasa bersalah.

Ketidakadilan ini juga menumbuhkan defisit kepercayaan. Mengapa rakyat harus taat membayar pajak, jika merasa uang mereka hanya dipakai untuk menopang kenyamanan birokrasi, bukan membangun masa depan bersama? Ini adalah bahaya laten yang bisa menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial.

Solusinya bukan sekadar menaikkan tarif pajak atau memperluas basis pajak. Tanpa reformasi moral, langkah itu hanya akan memperbesar ketidakpercayaan. Yang dibutuhkan adalah keberanian melakukan perubahan mendasar:

1. Transparansi penggunaan pajak – rakyat berhak tahu uang mereka digunakan untuk apa, bukan sekadar laporan angka dalam APBN.

2. Pemangkasan belanja birokrasi – gaji dan tunjangan boleh tinggi, tetapi harus diimbangi dengan kinerja dan integritas. Belanja perjalanan dinas dan rapat-rapat formalitas harus ditekan.

3. Prioritas pelayanan publik – pendidikan, kesehatan, transportasi, dan perlindungan sosial harus jadi poros utama belanja negara.

4. Teladan kesederhanaan pejabat – pejabat publik mestinya dekat dengan rakyat, bukan malah memisahkan diri lewat kemewahan simbolik seperti mobil dinas mewah atau fasilitas pribadi.

Pada akhirnya, rakyat tidak menuntut banyak. Mereka tidak meminta pejabat hidup miskin atau tanpa fasilitas. Mereka hanya ingin kontrak sosial ditepati: pajak yang mereka bayar kembali dalam bentuk kesejahteraan yang nyata.

Pajak adalah kontribusi sukarela yang dipaksakan hukum, tetapi kepercayaan adalah modal yang tak bisa dipaksakan. Jika pejabat terus-menerus mempertontonkan kemewahan di tengah kesulitan rakyat, kontrak sosial itu akan runtuh. Dan ketika kontrak sosial runtuh, yang hancur bukan hanya sistem perpajakan, tetapi juga fondasi kepercayaan terhadap negara itu sendiri.


Share:
Komentar

Berita Terkini