Demiliterisasi Polri: Wujudkan Reformasi Sejati!

Editor: Admin

Oleh :Rohmin R. Arifin

Ketum HMI Komisariat K.H. Ahmad Dahlan UMMU Ternate Periode 2023-2024

Bermunajat kepada Allah, bersholawat kepada nabi dan keluarganya. Tepat di pagi hari, alam pikir yang di landasi nurani, mendesak diri agar tidak berhenti mengingatkan antar sesama tentang kebaikan dan perbaikan. Olehnya, tulisan ini hadir sebagai bagian dari saling mengoreksi ketika penyimpangan mulai merambat kemana-mana.

Tulisan ini adalah wujud dari akumulasi kemarahan-melahirkan mosi ketidakpercayaan pada institusi polri. Bukan anti atau benci, melainkan segala hal pastinya punya sebab. Tidak perlu marah dan alergi dengan narasi ini. Karena tanpa kritik, polri tidak akan tau apa kesalahannya? Atau dimana letak masalahnya? Sebab butuh penilaian dari luar. Ibarat seorang manusia, ia membutuhkan komentar dari orang lain agar dapat menjadi pembelajaran bagi dirinya.

Belakangan saya menilai polisi dengan mudah tunduk pada atasan dan menjadi alat pelumas kekuasaan, rezim otoritarianisme berkedok demokratis, meski tindakannya nanti melanggar hukum, tidak apa, itu urusan kedua, asalkan kepentingan penguasa itu yang didahulukan, sisanya bisa di atur belakangan. 

Tulisan kali ini fokus pada demiliterisasi polri, guna mewujudkan reformasi sejati. Semangat demiliterisasi terbilang belum total diimplementasikan oleh institusi polri. Demiliterisasi tidak boleh hanya di pandang sebagai pemisahan polri dari tubuh ABRI semata, melainkan demiliterisasi harus diterjemahkan sebagai "penghentian pendidikan yang berbasis didikan militer".

Didikan Militer harus dibedakan dengan Didikan Kepolisian. Karena keduanya memiliki dua fungsi yang berbeda semenjak reformasi. Kalau TNI fokus pada pertahanan, Polri fokus saja pada keamanan.

Penghentian pendidikan berbasis militer ialah rekom sekaligus solusi perbaikan batang tubuh Polri secara fundamental. Polri seharusnya mengedepankan pendidikan berbasis ilmu berdasarkan bidang dan latihan teknis. Bukannya bertahan pada didikan fisik berbasis didikan militer. Kultur dan tradisi ini patuh diputuskan per sekarang, karena kalau tidak tipikal dan karakter setiap individu Polri akan terbentuk garang.

Perbaikan itu dilakukan mulai dari angkatan sekarang di setiap perekrutan hingga selesai. Mengingat pembentukan karakter di mulai dari situ. Makanya rekomendasi ini harus menjadi bahan evaluasi-introspeksi internal sebagai usaha demiliterisasi institusi Polri mewujudkan reformasi sejati.

Upaya ini sebetulnya tidak bermaksud menggurui, melainkan tawaran yang barangkali dapat direnungkan sendiri ke dalam. Mengkritik Polri bukan berarti anti. Sekali lagi, ini adalah bentuk kepedulian. Karena untuk menyelesaikan masalah internal Polri, tidak semata dari dalam, tapi juga butuh dukungan dari luar. 

Polri: Sipil Yang Di Persenjatai

Terus terang, senjata itu sangat berpotensi di salah gunakan. Itu kenapa, perlu ada seleksi. Bila perlu hanya bidang tertentu yang boleh memakai senjata. Itu pun bagi mereka yang telah memiliki sertifikat bersifat selektif, baik dari seleksi kejiwaan, kepribadian dan lain-lain.

Langkah-langkah semacam ini merupakan upaya meminimalisir penyalahgunaan senjata. Dimana senjata itu sendiri di beli berdasarkan hasil pajak rakyat. Wajar jika harus digunakan dengan sebaik mungkin.

Karena setiap manusia berpotensi khilaf, sehingga patuh kiranya hanya beberapa bidang di internal kepolisian yang dapat menggunakannya. Sekali lagi, itu pun harus melalui seleksi yang matang, agar Polri yang dipersenjatai benar-benar mengetahui fungsi senjata dan batasan pengunaannya.

Hentikan Tradisi Dan Kultur Polri Yang Bersifat Senioristik Dan Taklid

Tradisi Senioristik dan Taklid mengakibatkan setiap bawahan sering pasrah mengikuti kehendak-kemauan atasan. Pola dan ciri seperti ini juga sangat berdampak pada integritas dan profesionalisme seorang individu Polri.

Bagaimana tidak? Karena perintah seseorang harus menjadi tumbal dari suatu musibah yang memakan korban. Misalnya kemarin, kasus yang menewaskan Alm. Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang di lindas mobil taktis baracuda milik brimob.

Tindakan itu pasti tidak lepas dari perintah atasan. Di mana pertanggungjawabannya melekat pada oknum polisi yang melakukan, baik panik, sengaja, maupun tidak sengaja. Intinya ia telah mengambil nyawa seseorang sehingga dapat di mintai pertanggung jawab etik pemecatan hingga pemidanaan.

Sudah begitu, komandan pemberi perintah justru selamat. Ini bukan masalah kecil, tetapi suatu masalah besar yang patuh diperbaiki agar kedepan jangan hanya karena perintah, perintah dan perintah, seorang oknum polisi tertentu mendapatkan imbasnya akibat perintah atasan.

Seyogianya setiap Polri, terutama bawahan yang tidak berdaya ketika mendapatkan perintah dan berujung tumbal dari permainan Elit Penguasa dan Petinggi Polri, tentunya mereka punya nurani. Namun, karena tradisi senioristik dan doktrin siap gerak, menjadikannya di paksa melakukan hal buruk hingga tercela.

Perlu di garis bawahi bahwa, Polri itu sejatinya melaksanakan perintah hukum yang berlaku, bukan perintah komandan. Kedua ini yang mampu dibedakan. Menjalankan hukum atas perintah hukum itu benar, tetapi menjalankan perintah komandan tanpa dasar hukum yang jelas itu salah.

Jargon Polri, Rasta Sewakotama: Bukan Ucapan Kosong, Tapi Tindakan Nyata

Rasta Sewakotama itu bukan hanya jargon yang bersifat simbolis. Rasta Sewakotama merupakan penegasan kedudukan Polri bahwa sesungguhnya ia adalah pelayan rakyat. Dimana manifestasinya berupa Melayani, Melindungi dan Mengayomi Masyarakat.

Rasta Sewakotama itu nilai yang mencerminkan sikap dan perilaku Polri dalam melayani masyarakat. Bukan sebaliknya, mengucap jargon tersebut namun dalam tindakan tidak menjalankan nilai-nilainya.

Jika nilai-nilai tersebut mampu diaplikasi dengan baik oleh setiap individu Polri, dipastikan, Polri tanpa pencitraan, masyarakat akan sangat bangga dengan keberadaan Polri karena sangat memberi banyak manfaat.

Olehnya, kasus-kasus mengenai lambat merespon pengaduan masyarakat, penegakan yang tebang pilih, pelayan yang kurang baik dan hal negatif lainnya harus ditinggalkan agar nilai-nilai Rasta Sewakotama benar-benar dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat.

Semua pembahasan pada kesempatan kali ini, memuat tawaran yang sangat kompleks. Tetapi semoga para sidang pembaca tidak kesulitan dalam menangkap dan memahami maksud penulis.

Tidak ada yang jauh lebih baik, dari pada usaha-usaha kecil yang memberi dampak besar nantinya. Untuk itu, belajarlah dari kesalahan, agar dari kesalahan itu kita akui bahwa ada yang salah dan harus diperbaiki

Sebab, "kerusakan yang terus-menerus dibiarkan akan semakin rusak, dan perbaikan yang terus-menerus dikerjakan akan semakin baik". Sekian, terima kasih.

Share:
Komentar

Berita Terkini