![]() |
Foto AI |
Oleh
Irfandi R. Hi Mustafa
Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Maluku Utara
Wakil Sekretaris PW GP. Ansor Maluku Utara
Demokrasi hari ini, kita seolah terbagi menjadi dua dunia yang berbeda. Dunia pertama adalah "Aspal Panas" tempat rakyat menyuarakan kekecewaan mereka. Mereka berteriak, berpanas-panasan, dan bahkan berkorban demi didengarkan. Dunia kedua adalah "Ruang Ber-AC" sebuah gedung megah dengan para wakil rakyat yang seolah-olah hidup di alam lain, jauh dari teriakan di luar sana.
Senayan yang Buta Tuli: Saat Aspirasi Menjadi Debu di Jalanan
Sudah menjadi pemandangan umum bahwa ribuan massa aksi tumpah ruah di jalanan, membawa tuntutan yang jelas dan mendesak. Mulai dari isu kenaikan harga kebutuhan pokok, upah yang tidak layak, hingga kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat. Namun, di saat yang sama, di dalam gedung parlemen, para anggota dewan justru disibukkan dengan rapat-rapat yang kadang tidak substansial, berjoget di atas kursi yang empuk atau bahkan lebih parah, mengesahkan kebijakan yang justru menambah beban rakyat.
Jarak fisik antara jalanan dan gedung parlemen memang hanya beberapa meter, tetapi jarak psikologis dan aspirasi terasa seperti ribuan kilometer. Mengapa suara yang begitu nyaring di luar sana seolah hanya menjadi debu yang terbang dan tidak sampai ke telinga para wakil rakyat? Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat, melainkan kegagalan fundamental dalam fungsi representasi. Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi perpanjangan lidah masyarakat justru terlihat seperti menara gading yang tidak bisa ditembus.
Arogansi Jabatan dan Kebijakan yang Menjauh dari Realitas
Kesenjangan ini tidak hanya tercermin dari respons terhadap demonstrasi, tetapi juga dari produk-produk kebijakan yang mereka hasilkan. Sering kali, kebijakan yang disahkan DPR terkesan dibuat tanpa mempertimbangkan dampak langsungnya terhadap kehidupan sehari-hari rakyat. Contoh paling nyata adalah pembahasan tunjangan dan fasilitas para anggota dewan yang terus menjadi sorotan, sementara isu-isu krusial seperti kemiskinan dan pengangguran masih belum teratasi.
Arogansi ini lahir dari sebuah pemikiran bahwa mereka tahu yang terbaik, tanpa perlu mendengarkan atau merasakan langsung penderitaan rakyat. Mereka seolah lupa bahwa kekuasaan yang mereka genggam adalah amanah, bukan hak istimewa. Kebijakan yang lahir dari ruang ber-AC yang dingin dan steril akan selalu gagal beresonansi dengan realitas "aspal panas" yang keras dan penuh perjuangan.
Mencari Jembatan Kembali: Saatnya Mengembalikan Demokrasi ke Jalur Rakyat
Pertanyaannya adalah apakah jembatan antara dua dunia ini masih bisa dibangun? Tentu saja. Pertama, para wakil rakyat harus berani keluar dari zona nyaman mereka dan mendengarkan langsung apa yang menjadi keluhan rakyat, bukan hanya melalui laporan formal atau media. Kedua, perlu ada mekanisme yang lebih efektif agar aspirasi rakyat dapat diakomodasi dalam setiap proses legislasi. Terakhir, transparansi harus menjadi prioritas. Rakyat perlu tahu setiap detail dari kebijakan yang dibuat, sehingga mereka bisa mengawasi dan memberikan masukan.
Demonstrasi bukan sekadar kericuhan; itu adalah alarm. Sebuah sinyal darurat bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem demokrasi kita. Jika jurang antara "aspal panas" dan "ruang ber-AC" tidak segera dijembatani, maka jangan salahkan jika kepercayaan rakyat pada institusi demokrasi akan terkikis habis. Dan ketika itu terjadi, bukan hanya Gedung Parlemen yang runtuh, melainkan fondasi negara ini.
Epilog: Demokrasi di Titik Nadir yang Ditolak oleh Tunjangan Mati Rasa
Jika demokrasi adalah suara rakyat, maka hari ini suara itu telah dibungkam oleh gemerincing uang tunjangan dan fasilitas mewah. Ironisnya, saat jutaan kepala keluarga berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar di tengah inflasi dan upah yang stagnan, para wakil rakyat justru disibukkan dengan pembahasan anggaran untuk kenyamanan pribadi. Gedung megah DPR bukanlah lagi simbol kedaulatan rakyat, melainkan monumen egoisme dan ketidakpedulian yang dibangun di atas penderitaan rakyat.
Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat politik, tapi soal kematian empati. Bagaimana bisa para wakil yang dipilih untuk memperjuangkan nasib rakyat justru dengan entengnya menambah pundi-pundi mereka sendiri? Demonstrasi yang meluap di jalanan bukanlah sekadar kritik, melainkan jeritan putus asa yang menuntut keadilan. Jika para anggota dewan masih tidak bisa mendengar suara itu—suara yang lebih lantang dari sirine pengawal mereka—maka mereka tidak layak lagi disebut sebagai wakil rakyat. Mereka hanya sekumpulan elit yang hidup dalam gelembung privilege, menunggu waktu gelembung itu pecah dan menenggelamkan mereka.
Gedung Wakil Rakyat Terbakar: Simbol Runtuhnya Kepercayaan
Ketika api melalap sebuah gedung, ia tidak hanya menghanguskan material. Ia membakar sebuah simbol. Gedung-gedung DPRD terbakar, itu bukan hanya tragedi fisik, tapi klimaks dari kemarahan yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Pembakaran itu adalah bahasa terakhir yang digunakan rakyat ketika semua cara lain untuk didengarkan telah gagal.
Pembakaran gedung ini bukan tindakan kriminal semata, tetapi sebuah pernyataan politis yang radikal. Ia melambangkan habisnya kesabaran, runtuhnya harapan, dan matinya dialog. Ini adalah wujud nyata dari pepatah bahwa “ketika keadilan tidak mengalir seperti sungai, maka kemarahan akan membara seperti api”. Jangan salahkan massa yang putus asa; salahkan sistem yang menciptakan keputusasaan itu.
Maka, api itu benar-benar menyala, itu akan menjadi peringatan keras: bahwa demokrasi yang berjarak, yang buta terhadap penderitaan, dan yang tuli pada jeritan rakyat, pada akhirnya akan terbakar habis oleh api amarahnya sendiri. Itulah harga yang harus dibayar ketika Aspal Panas terlalu lama dibiarkan menguap di bawah matahari, sementara para wakilnya nyaman di dalam Ruang Ber-AC yang dingin. (Red/tim)