![]() |
Foto Istimewa |
Oleh: Risman Darmin, S.H
(Pemerhati Hukum)
Dalam berbagai kesempatan, kita sering mendengar istilah Diskresi. Diskresi yang terlintas dalam benak kita biasanya dipahami sebagai sebuah tindakan atau perbuatan menyimpang atau mengesampingkan aturan karena keadaan atau situasi tertentu.
Secara teoritik, diskresi lebih cenderung pada tujuan pencapaiannya (doelmatigheid) daripada hanya sekadar ketentuan hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Demikianlah karakteristik dasar diskresi atau freies ermessen yang sejalan dengan konsep welfare state atau negara kesejahteraan.
Freies ermessen secara ringkas adalah konsep dasar di balik praktik diskresi yang memberikan pejabat pemerintah kewenangan untuk bertindak bebas, tetapi dalam praktiknya tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan sebagai rule of the game.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Secara etimologi, kata freies ermessen berasal dari bahasa Jerman, di mana freies berarti bebas atau merdeka, dan ermessen berarti menilai, memperkirakan, menduga, atau mempertimbangkan.
Freies ermessen adalah asas yang bertujuan untuk mengisi kekurangan atau melengkapi asas legalitas supaya cita-cita negara hukum kesejahteraan dapat terwujud, karena asas ini memberikan keleluasaan bertindak kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya tanpa terikat pada undang-undang. Sederhananya, konsep ini muncul sebagai konsekuensi logis dari penerapan konsep welfare state atau negara kesejahteraan.
Dalam negara kesejahteraan, pemerintah memiliki kewajiban utama untuk memberikan pelayanan umum dan mengusahakan kesejahteraan warga negara.
Meskipun pemberian freies ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, tetapi dalam kerangka negara hukum, freies ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas.
Atas dasar itu, Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara mengutip pendapat Sjachran Basah yang mengemukakan unsur-unsur freies ermessen dalam suatu negara hukum, yaitu:
a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas pelayanan publik.
b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara.
c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum.
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri.
e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.
Di Indonesia, kewenangan bebas atau diskresi secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU ini secara eksplisit menegaskan bahwa diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal:
Peraturan perundang-undangan memberikan pilihan.
Peraturan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas.
Adanya stagnasi pemerintahan.
Pada Pasal 22 ayat (2) ditegaskan bahwa penggunaan hak diskresi harus bertujuan untuk:
- Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan.
- Mengisi kekosongan hukum.
- Memberikan kepastian hukum.
-Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu, guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Klausul Pasal 22 tersebut secara sederhana menjelaskan mekanisme penggunaan diskresi.
Problem Hukum
Masalah yang sering muncul di lingkup pemerintahan, selain adanya kekosongan hukum (recht vacum) atau alternatif pilihan dalam peraturan perundang-undangan, adalah penggunaan kewenangan diskresi oleh pejabat TUN sebagai respon terhadap putusan TUN.
Penggunaan diskresi sebagai respon terhadap putusan TUN tidak sepenuhnya merupakan tindakan menyimpang dari ketentuan hukum. Namun, diskresi yang lahir akibat putusan TUN juga bukan tindakan yang dapat dibenarkan sepenuhnya, melainkan sebuah respons yang berisiko melanggar hukum.
Di Kabupaten Halmahera Selatan, akhir-akhir ini kita disuguhkan problem penggunaan kewenangan bebas atau diskresi oleh Bupati, yang duduk perkaranya kurang lebih sama dengan deskripsi di atas, yakni diskresi yang lahir akibat putusan TUN.
Tindakan administratif yang diambil oleh pejabat TUN sebagai pelaksanaan hukum setelah menerima perintah dari pengadilan, misalnya dengan menerbitkan KTUN baru setelah adanya pembatalan KTUN sebelumnya untuk memenuhi hak-hak penggugat, merupakan bentuk diskresi yang harus tetap didasarkan pada putusan pengadilan TUN.
Namun, implementasi kewenangan diskresi oleh Bupati Halmahera Selatan justru mengesampingkan apa yang secara eksplisit diperintahkan oleh putusan TUN tersebut.
Membaca problem yang kompleks ini, terlihat bahwa mekanisme koreksi keputusan TUN melalui peradilan seringkali dikesampingkan dengan alibi penggunaan diskresi yang keliru. Sederhananya, respon terhadap putusan TUN tidak boleh dilakukan dengan mempertimbangkan atau menggunakan kewenangan diskresi di luar perintah putusan TUN, apalagi jika terkesan politis.
Jalan Tengah
Pada akhirnya, yang perlu dipahami adalah diskresi dalam konteks Hukum Administrasi Negara bukan sepenuhnya tentang kekuasaan, melainkan tentang kewenangan.
Bagir Manan, sebagaimana dikutip dalam materi Kuliah Hukum Administrasi Negara (Hendra Kasim), menyebutkan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, sementara dalam hukum, wewenang mengandung hak sekaligus kewajiban yang melekat secara langsung.
Secara filosofis, dapat dipahami bahwa setiap tindak tanduk pelaksanaan pemerintahan wajib tunduk dan patuh pada ketentuan perundang-undangan sebagai rule of the game.
Untuk mengurai benang kusut akibat kekeliruan pelaksanaan diskresi oleh pejabat TUN sebagaimana dilakukan oleh Bupati Halmahera Selatan, seharusnya jalan tengah yang ditempuh adalah menggunakan kewenangan untuk mencabut atau membatalkan Keputusan TUN melalui mekanisme:
Spontane vernietiging, atau
Asas contrarius actus.
Langkah ini merupakan sikap bijak yang menegaskan konsistensi pemerintahan yang dipimpinnya, sebagaimana tagline Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan: “Senyum Humanis.”