NEGERI TANPA NURANI

Editor: Admin

 

Foto istimewa 

Oleh: 

Bachtiar S. Malawat

Indonesia hari ini bukan lagi panggung demokrasi, melainkan arena pertarungan telanjang antara suara rakyat dan kekuasaan yang kehilangan hati. Di jalan-jalan, mahasiswa berteriak bukan untuk gagah-gagahan, melainkan karena hidup mereka dan masa depan bangsa ini sedang digadaikan. Namun, jeritan itu dibalas dengan gas air mata, pentungan, dan peluru karet. Inilah negeri yang menutup telinga ketika rakyat bersuara, dan menutup hati ketika nurani memanggil.

Awal September 2025, Komnas HAM merilis data pahit setidaknya sepuluh nyawa melayang dalam gelombang demonstrasi nasional yang membentang dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, hingga Ternate. Nama-nama seperti Affan Kurniawan, Andika Lutfi Falah, Rheza Sendy Pratama, hingga Iko Juliant Junior menjadi saksi bisu bahwa demokrasi kita tidak hanya pincang, tapi berdarah. Rakyat yang hanya menuntut keadilan dan kesetaraan diperlakukan bak musuh negara, sementara yang sebenarnya menggerogoti republik oligarki dan wakil rakyat yang berkhianat terus diberi panggung. Aksi yang bermula dari penolakan tunjangan DPR Rp 50 juta per bulan berubah menjadi gelombang amarah nasional. Sebab rakyat melihat, di balik gedung parlemen yang dingin dan ber-AC, para anggota DPR berenang dalam kemewahan, sementara rakyat ditenggelamkan dalam harga kebutuhan pokok yang mencekik. Seorang pengemudi ojol tewas dilindas kendaraan taktis. Ratusan mahasiswa luka-luka. Lebih dari seribu orang ditangkap hanya di Jakarta. Apa yang tersisa dari demokrasi jika rakyat yang mengingatkan malah dibungkam dengan kekerasan?

Dewan Perwakilan Rakya merupakan lembaga yang seharusnya menjadi cermin nurani bangsa, kini tak ubahnya pasar gelap kepentingan. Kursi parlemen diperdagangkan, undang-undang disusun untuk menguntungkan korporasi, dan suara rakyat dipinggirkan. Indeks kepercayaan publik terhadap DPR terjun bebas ke angka 17%, angka paling memalukan sepanjang sejarah reformasi. Dan ketika rakyat marah, mereka sekadar menawarkan potongan tunjangan, seolah-olah nurani bisa ditebus dengan receh dari anggaran. Ini bukan solusi, ini penghinaan.

Lihatlah Bandung, tempat aparat menembakkan gas air mata ke area kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan. Kampus yang seharusnya menjadi benteng intelektual justru dijadikan medan tempur. Seorang mahasiswa terkapar terkena peluru karet. Di Surabaya dan Yogyakarta, kekerasan aparat kembali dipertontonkan. Dan di Ternate, di tanah yang jauh dari hiruk-pikuk pusat kekuasaan, mahasiswa dipaksa menelan gas air mata hanya karena ingin masuk ke gedung DPRD. “Indonesia Darurat Demokrasi” bukan sekadar slogan, melainkan vonis keras terhadap negara yang kian gelap hatinya. Apa arti pertumbuhan ekonomi 5,2% jika 13 juta rakyat masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, Apa arti parlemen jika lebih dari 60% legislatornya terikat langsung pada oligarki tambang, perkebunan, dan properti, Apa arti demokrasi jika setiap aksi rakyat berakhir dengan kematian? Negeri ini kehilangan substansi, tersisa formalitas yang membusuk. Demokrasi yang dibanggakan hanyalah kosmetik, menutupi wajah tirani yang semakin menua tapi rakus.

Che Guevara pernah berkata: “Jika kamu gemetar karena marah melihat ketidakadilan, maka kamu adalah kawan.” Hari ini, gemetar itu nyata di jalan-jalan Indonesia. Bukan gemetar karena takut, melainkan gemetar karena amarah. Mahasiswa, buruh, petani, nelayan, rakyat miskin kota mereka gemetar karena tidak rela negeri ini terus dijadikan ladang rente bagi segelintir elite yang tuli terhadap nurani.

Sejarah kita mengajarkan darah mahasiswa selalu menjadi percikan api perubahan. Dari 1966, Malari 1974, hingga Reformasi 1998, setiap kali kekuasaan kehilangan hati, generasi muda menyalakan api perlawanan. Kini, negeri tanpa nurani ini kembali menunggu, apakah rakyat akan diam, ataukah mereka akan menyambung nyanyian perlawanan yang sudah berkumandang dari Ternate hingga Jakarta. Negeri tanpa nurani bukan sekadar metafora, ia adalah realitas yang kini kita jalani. Negara yang lebih memilih menghitung tunjangan daripada menghitung nyawa. Negara yang lebih sibuk membungkam rakyat daripada menegakkan keadilan. Negara yang mengklaim demokrasi, tetapi berperilaku tirani. Dan kita, sebagai rakyat, hanya punya dua pilihan, diam dan membiarkan, atau bangkit dan melawan. Sebab harga dari diam adalah penderitaan yang terus diwariskan, sementara harga dari perlawanan adalah kehidupan yang lebih layak untuk generasi berikutnya.

Kita sedang menyaksikan sebuah negeri yang digerogoti oleh kerakusan elite dan dibungkam dengan gas air mata. Ironi itu terhampar di jalanan, suara mahasiswa, buruh, hingga rakyat kecil yang menuntut keadilan justru dijawab dengan pentungan dan peluru karet. Dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, hingga Ternate, gelombang demonstrasi yang berkobar sepanjang Agustus–September 2025 menjadi bukti nyata bahwa republik ini sedang terperosok ke dalam jurang otoritarianisme yang dibungkus jargon demokrasi.

Di Ternate, seorang mahasiswa Unutara yakni Kawan Hani Hi Arifin kembali menjadi korban represifitas aparat kepolisian, tas-nya ditarik kepalanya dipukul dan dipaksa lepas jilbab oleh aparat, sungguh ini sangat berbanding terbalik degan nilai moral dan nilai demokrasi. Selain itu Gas air mata memenuhi udara, suara sirene bersahut-sahutan, dan tubuh mahasiswa tergeletak di jalanan. Sejarah mencatat bahwa setiap kali rakyat bersuara, negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan algojo. Luka ini mengulang tragedi 2019 ketika mahasiswa menolak revisi UU KPK, dan kini, 2025, luka itu kembali menganga. Nurani penguasa seakan mati, hanya tersisa logika kekuasaan yang membabi buta.

Kita harus bertanya, mengapa kekuasaan selalu panik ketika berhadapan dengan rakyatnya sendiri, Jawabannya jelas, karena yang mereka pertahankan bukan kebenaran, melainkan kepentingan sempit. DPR yang seharusnya menjadi rumah rakyat telah menjelma pasar transaksi politik. Laporan lembaga independen mengungkapkan bahwa lebih dari 70 persen anggota DPR 2024–2029 terseret kasus gratifikasi, penyalahgunaan dana reses, hingga konflik kepentingan bisnis tambang dan infrastruktur. Mereka menggadaikan mandat rakyat untuk kepuasan perut sendiri.

Kesenjangan sosial pun makin nyata. Laporan terbaru Badan Pusat Statistik (2025) menunjukkan bahwa ketimpangan penguasaan kekayaan di Indonesia semakin melebar, 1 persen orang terkaya menguasai lebih dari 45 persen aset nasional, sementara jutaan rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ironinya, di saat rakyat antre beras murah, elit sibuk memamerkan jam tangan mewah, pesta pernikahan miliaran rupiah, hingga safari politik yang tak ada ujungnya. Di tengah krisis ini, nurani negara benar-benar lenyap.

Demonstrasi yang merebak dari Jawa hingga Maluku Utara adalah letupan kemarahan yang tak bisa lagi dibendung. Ini bukan sekadar ekspresi emosional mahasiswa, melainkan jeritan kolektif bangsa yang muak melihat kemewahan oligarki dipertontonkan di hadapan kemiskinan rakyat. Mereka yang turun ke jalan tahu betul resikonya ditangkap, dianiaya, bahkan terbunuh. Namun keberanian itu lahir dari keyakinan bahwa diam berarti tunduk pada ketidakadilan.

Kekuasaan hari ini lupa bahwa demonstrasi adalah nafas demokrasi. Negara yang menolak mendengar rakyatnya sedang menggali liang kuburnya sendiri. Thomas Jefferson pernah berujar, "When injustice becomes law, resistance becomes duty." Kalimat ini seolah hidup di jalanan Indonesia hari ini. Rakyat yang dipaksa tunduk, bangkit melawan karena nurani mereka belum mati, meski negara telah lama mengubur nuraninya. Tragedi di Ternate, yang viral hanya beberapa hari lalu, hanyalah satu potongan dari puzzle besar perlawanan rakyat Indonesia. Kita juga menyaksikan bentrokan di Surabaya di mana puluhan mahasiswa terluka, demonstrasi di Yogyakarta yang berujung pengepungan kampus, dan aksi besar di Jakarta yang menghadirkan puluhan ribu massa namun dijawab dengan represi brutal. Seakan negara ini ingin mengirim pesan jangan sekali-kali mengganggu kenyamanan elit yang sedang berpesta di atas penderitaan rakyat.

Inilah wajah asli republik negeri tanpa nurani. Negeri yang membanggakan demokrasi di panggung internasional, namun memenjarakan mahasiswa di halaman kampusnya sendiri. Negeri yang memuja konstitusi, tapi menyelewengkan hukum untuk melindungi oligarki. Negeri yang memamerkan pembangunan infrastruktur, tapi membiarkan rakyatnya kehilangan tanah, hutan, dan laut akibat proyek tambang yang rakus. Apakah kita akan terus diam, Apakah kita rela negeri ini dibajak oleh segelintir elit yang memelihara demokrasi hanya sebatas formalitas lima tahunan, Jawabannya tentu tidak. Demonstrasi hari ini adalah alarm kebangkitan sebuah orkestra perlawanan yang digelar bukan di panggung mewah, melainkan di jalanan berdebu, di kampus-kampus yang dipenuhi gas air mata, di pelabuhan-pelabuhan tempat nelayan terusir oleh reklamasi.

Jika nurani penguasa sudah mati, maka tugas rakyat adalah menghidupkan nurani kolektif bangsa. Perlawanan harus terus bergema, bukan sekadar di jalanan, tapi juga di ruang-ruang diskusi, di media, di karya sastra, bahkan di meja makan keluarga. Kita harus terus berbicara, menulis, berteriak, agar suara ini tak bisa dimatikan.

Sejarah selalu berpihak pada yang berani melawan. Mahasiswa 1966, 1998, dan kini 2025, telah memberi pelajaran bahwa ketika nurani penguasa mati, rakyatlah yang akan menjadi obor penyuluh jalan. Negeri tanpa nurani hanya bisa diselamatkan oleh keberanian rakyat yang menolak tunduk. Dan hari ini, api perlawanan itu telah menyala dari Jawa hingga Ternate, mengingatkan kita semua bahwa republik ini bukan milik oligarki, melainkan milik rakyat yang berani menggugat. 

Share:
Komentar

Berita Terkini