Vampir Tambang Vs Ekonomi Prabowo untuk Ekonomi Kepulauan

Editor: Admin
Foto istimewa 

Mukhtar A. Adam

Ketua ISNU Maluku Utara

Ujian Baru Nasionalisme Ekonomi. Presiden Prabowo Subianto kerap dipersepsikan sebagai simbol nasionalisme dan patriotisme. Dari jejak militernya hingga kini memimpin negara, ia konsisten mengirim pesan, Indonesia harus percaya diri menghadapi arus global. Namun kini, ujian baru hadir bukan di medan perang, melainkan di medan ekonomi.

Ledakan ekspor nikel dari Maluku Utara memperlihatkan betapa kayanya bumi Nusantara, tetapi sekaligus menyingkap paradoks besar. Ekonomi provinsi tumbuh cepat, tetapi kesejahteraan rakyat di pulau-pulau kecil masih jauh dari ideal. Inilah wajah nyata apa yang disebut Prabowo sebagai “Vampir Ekonomi”: kapitalisme tambang yang rakus, mengekstraksi sumber daya tanpa transmisi adil ke masyarakat.

Di tengah situasi itu, dua gagasan awal Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih (KMP), menjadi penting. Ia ingin ekonomi Indonesia kembali pada akar, menyentuh langsung rakyat, dan menata ulang strategi pembangunan sesuai karakteristik negara kepulauan.

Ekonomi Maluku Utara, sebagai cermin dari vampir tambang yang lagi menggoyah ekonomi Nusantara: yang kaya ekspor, tapi PDRB kecil. Mari kita tengok data resmi yang dipublikasikan BPS.

Ekspor Maluku Utara naik dari Rp15 triliun (2020) menjadi Rp174 triliun (2024). Hanya empat tahun, nilai ekspor naik lebih dari sebelas kali lipat.

PDRB Maluku Utara naik dari Rp37 triliun (2020) menjadi Rp90 triliun (2024). Pertumbuhan tinggi, tetapi hanya 2,5 kali lipat.

Di sinilah paradoksnya: pada 2024, ekspor Malut setara 193% dari PDRB. Sejak 2021, ekspor konsisten lebih besar daripada ukuran ekonominya sendiri. Bagaimana mungkin sebuah provinsi mengekspor lebih banyak daripada seluruh kegiatan ekonominya?

Jawabannya sederhana: ekspor dikuasai mesin industri dan investor global, sementara PDRB mencerminkan aktivitas 1,3 juta penduduk Malut. Uang besar mengalir keluar, meninggalkan angka-angka indah di neraca perdagangan, tetapi tidak menetes sepadan ke konsumsi rumah tangga, harga pangan, atau layanan publik di pulau-pulau kecil.

Vampir Ekonomi, sebuah Ekstraksi Tanpa Transmisi. Istilah “Vampir Ekonomi” yang dilontarkan Presiden Prabowo menemukan relevansinya di Malut. Mesin smelter dan HPAL berdiri di Halmahera dan Obi, hutan dibabat, tanah digali, laut tercemar. Ekspor melonjak, tetapi rakyat di pulau-pulau kecil masih membayar beras, gula, dan minyak dengan harga dua sampai tiga kali lipat dari Jawa.

Fenomena ini adalah ekonomi enclave:

  • Ekstraksi berjalan masif untuk memenuhi pasar global.
  • Transmisi ke masyarakat lokal sangat terbatas.

Masyarakat Malut hanya jadi penonton, sementara SDA mengalir ke luar negeri. Kaya di neraca ekspor, miskin di kantong rakyat.

Negara Kepulauan. Dari 6.000 pulau berpenghuni, bagaimana membangun Indonesia sebagai negara kepulauan, bukan negara kontinental? Maluku Utara menjadi miniatur dari Archipelago State paling konkret—bagaimana tantangan ekonomi kepulauan harus ditangani.

  • 64 pulau berpenghuni di Malut: menghadapi logistik mahal, transportasi terbatas, layanan dasar minim.
  • 7 pulau layak huni: memiliki potensi pengembangan ekonomi skala menengah, tetapi masih terkendala akses dan infrastruktur.
  • 23 pulau satu desa satu pulau: hidup dalam keterisolasian, dengan karakter ekonomi subsisten.

Di pulau-pulau ini, pertumbuhan ekonomi 193% ekspor vs PDRB tidak terasa. Anak-anak masih sekolah seadanya, nelayan sulit menjual ikan karena biaya logistik, dan perempuan desa harus menunggu kapal bahan pokok sebulan sekali.

Inilah realitas yang kerap terlewat dalam teori ekonomi kontinental. Kebijakan trickle-down yang hanya mengandalkan pusat pertumbuhan tidak cocok untuk negara kepulauan.

MBG dan KMP: Jalan Rekonstruksi. Dua program awal Presiden Prabowo bisa dibaca sebagai strategi korektif terhadap paradoks vampir ekonomi.

Makan Bergizi Gratis (MBG), bukan sekadar program gizi, tetapi juga instrumen ekonomi kepulauan. Dengan menyediakan bahan pangan lokal untuk sekolah-sekolah, program ini bisa menciptakan rantai pasok baru di pulau-pulau kecil. Nelayan, petani kelapa, cengkeh, pala bisa menjadi pemasok.

Koperasi Merah Putih (KMP), sebuah model ekonomi kolektif yang bisa menjembatani produksi rakyat di pulau kecil dengan pasar nasional. KMP bisa menjadi kanal distribusi, mengurangi biaya logistik, dan memperkuat daya tawar masyarakat kecil terhadap industri besar.

MBG dan KMP, bila dijalankan konsisten, dapat menjadi alat rekonstruksi dari ekonomi enclave menuju ekonomi kepulauan yang inklusif.

Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo berencana menggelontorkan Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebagai stimulus fiskal. Strategi ini bukan sekadar pengeluaran ekstra, melainkan bagian dari upaya counter-cyclical untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional. Dengan memanfaatkan akumulasi SAL, negara dapat menginjeksikan dana segar tanpa harus menambah utang baru, sekaligus menjaga kesinambungan fiskal. Tujuannya jelas: mendorong roda ekonomi bergerak melalui dua jalur utama, yakni investasi produktif dan penguatan konsumsi masyarakat.

Dari sisi investasi, kucuran dana SAL diarahkan untuk menopang infrastruktur dasar di kepulauan Nusantara: pelabuhan kecil, transportasi laut, gudang logistik, jaringan listrik, dan teknologi informasi. Di wilayah seperti Maluku Utara yang memiliki 64 pulau berpenghuni, investasi ini menjadi kunci untuk membuka konektivitas antar-pulau. Infrastruktur yang lebih baik akan menurunkan biaya logistik, memperlancar arus barang, dan memperkuat integrasi pasar lokal dengan rantai pasok nasional maupun global. Dengan begitu, ekspor yang kini didominasi nikel dapat diperluas manfaatnya ke sektor lain seperti perikanan, perkebunan, dan pariwisata.

Dari sisi konsumsi, Rp200 triliun tersebut juga diarahkan untuk mendorong daya beli masyarakat, terutama melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penguatan Koperasi Merah Putih (KMP). Injeksi fiskal pada rumah tangga di pulau-pulau kecil akan memperbesar permintaan lokal, menciptakan pasar baru bagi nelayan, petani, dan pelaku UMKM. Dengan demikian, stimulus SAL tidak hanya menjadi angka makro di neraca APBN, tetapi benar-benar hadir di pasar-pasar desa dan dapur keluarga kepulauan. Kombinasi investasi dan konsumsi inilah yang diharapkan mampu menundukkan paradoks vampir ekonomi: SDA boleh diekspor, tetapi aliran dana kembali ke rakyat kecil menjadi nyata dan terukur.

Patriotisme Ekonomi Prabowo. Apa yang membedakan Prabowo? Ia sadar bahwa Indonesia tidak bisa dipandang dengan kacamata ekonomi kontinental. Negara kepulauan punya logika berbeda.

Dalam perspektif patriotisme, Prabowo ingin memastikan bahwa hilirisasi bukan sekadar pesta investor asing. Hilirisasi harus menjadi jalan agar nilai ekspor setara dengan kesejahteraan rakyat.

Patriotisme di sini bukan retorika kosong, melainkan keberanian menata ulang model ekonomi:

Dari ekstraksi menuju distribusi adil.

Dari pusat pertumbuhan menuju jaringan pulau.

Dari angka-angka makro menuju kehidupan nyata di desa dan pesisir.

Jalan Baru Ekonomi Nusantara. Maluku Utara memberi pelajaran berharga. Ekspor bisa melonjak sebelas kali lipat, PDRB bisa naik 2,5 kali lipat, tetapi jurang ketimpangan tetap melebar. Ekonomi enclave menciptakan vampir tambang, menghisap SDA tanpa meneteskan kesejahteraan.

Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, ada kesempatan untuk menata ulang. MBG dan KMP bisa menjadi instrumen patriotisme ekonomi, menyambungkan rantai pertumbuhan dari smelter global hingga dapur-dapur rakyat di pulau kecil

Tugas besar itu bukan hanya soal menundukkan vampir tambang, tetapi juga membangun ekonomi kepulauan dengan karakter Nusantara. Jika berhasil, Maluku Utara dan 6.000 pulau lain tak lagi sekadar jadi penonton ekspor, melainkan pemain aktif dalam panggung kesejahteraan bangsa. (Red/tim)

Share:
Komentar

Berita Terkini