Nikmatinya Pisang Rebus Mama Daripada MBG

Editor: Admin
Foto istimewa 

Sukarsi Muhdar

Jurnalis 

Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak dasar seluruh warganya, salah satunya adalah hak memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak. Pendidikan bukan hanya sebatas duduk di bangku sekolah, melainkan juga menyangkut kesehatan fisik dan gizi peserta didik agar mereka dapat belajar dengan baik. Dalam kerangka inilah pemerintah menggulirkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang menjadi salah satu program prioritas nasional.

Sejak awal, program ini dirancang sebagai bentuk komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memenuhi janji politiknya. Dalam orasi besarnya di Gelora Bung Karno beberapa waktu lalu, ia menegaskan, “Anak-anak kita akan makan gratis”. Kalimat ini seolah menjadi janji manis yang memberi harapan besar: tidak ada lagi anak Indonesia yang belajar dalam keadaan lapar, tidak ada lagi generasi yang terganggu pertumbuhannya akibat kekurangan gizi.

Namun, harapan sering kali berbanding terbalik dengan kenyataan. Fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa pelaksanaan program MBG belum sepenuhnya siap. Sejumlah kasus keracunan massal yang menimpa puluhan siswa di Kota Ternate, Maluku Utara, membangkitkan kekhawatiran masyarakat. Anak-anak yang seharusnya pulang sekolah dengan perut kenyang dan hati gembira, justru harus dirawat di rumah sakit akibat mual, pusing, dan diare berkepanjangan setelah menyantap makanan dari program MBG. Mirisnya lagi, beberapa menu ditemukan masih menyisakan ulat di dalamnya.

Di balik kontroversi ini, publik juga mempertanyakan arah kebijakan fiskal pemerintah. Data menunjukkan bahwa anggaran program MBG yang pada awal 2025 berada di kisaran Rp 71 triliun, direncanakan akan melonjak drastis pada 2026 menjadi Rp 335 triliun. Angka ini sangat besar, bahkan harus memangkas sejumlah program prioritas lain, termasuk pendidikan, kesehatan, hingga program kesejahteraan masyarakat yang sudah lebih dulu berjalan.

Kekhawatiran muncul: apakah alokasi anggaran sebesar itu benar-benar sepadan dengan kualitas program? Apalagi ketika fakta di lapangan memperlihatkan masih lemahnya kesiapan infrastruktur dapur penyangga, standar operasional yang longgar, dan kurangnya pengawasan ketat.

Jika kita menengok ke desa-desa di Maluku Utara sebelum hadirnya program MBG, anak-anak tumbuh sehat dan kuat dengan makanan lokal hasil kebun. Papeda dari sagu, kasbi (singkong), pisang rebus, hingga berbagai olahan sederhana yang berpadu dengan dabu-dabu manta menjadi menu sehari-hari.

Setiap kali pulang sekolah, para anak disambut dengan pisang rebus hangat buatan mama mereka. Bukan menu mewah, bukan pula makanan bergengsi, tetapi cukup mengenyangkan, menyehatkan, dan tidak pernah menimbulkan keracunan. Pisang rebus itu memberi energi untuk bermain lompat tali atau berlarian di halaman rumah. Tidak ada laporan dokter yang mengatakan “keracunan akibat pisang rebus.”

Namun sejak hadirnya MBG, kebiasaan itu mulai hilang. Sang ibu tidak lagi merebus pisang santang karena anaknya sudah kenyang dengan makanan dari sekolah. Ironisnya, justru menu modern itu terkadang membuat perut sakit, sementara cita rasa sederhana pisang rebus yang kaya serat dan bergizi tersingkir begitu saja.

Salah satu penyebab utama keracunan MBG di Ternate terungkap dari laporan Tribun Ternate (2025). Dinas Kesehatan setempat mengakui bahwa dari 10 dapur penyangga MBG, hanya 1 dapur yang petugasnya sudah mengikuti pelatihan Hygiene Sanitasi Pangan (HSP). Artinya, 9 dapur lain beroperasi tanpa bekal standar kebersihan yang memadai.

Bayangkan, dapur-dapur yang belum siap secara prosedural ini justru diberi tanggung jawab besar untuk menyediakan makanan bagi ribuan anak sekolah. Tidak mengherankan jika insiden keracunan terjadi, karena sistem pengawasan yang seharusnya menjadi kunci utama justru diabaikan.

Masalah lain yang tidak kalah serius adalah rendahnya tingkat transparansi pemerintah terkait kasus keracunan ini. Sejumlah media melaporkan bahwa hasil uji laboratorium atas sampel makanan dan darah siswa korban keracunan tidak pernah dipublikasikan secara terbuka. Bahkan muncul dugaan ada upaya menutup-nutupi fakta oleh Badan Gizi Nasional (BGN) Maluku Utara dan Dinas Kesehatan Kota Ternate.

Hal ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk anggota Komisi III DPRD Kota Ternate, Muhammad Syaiful, yang mempertanyakan sikap pemerintah daerah. Ia menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik adalah hak masyarakat. Jika ada hasil uji lab, maka harus diumumkan agar masyarakat tahu sejauh mana kesiapan dan keamanan program tersebut. Tanpa transparansi, sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa keselamatan anak-anak benar-benar diprioritaskan.

Pemerintah pusat memang mengklaim bahwa tingkat keberhasilan MBG mencapai 99,99 persen, dengan lebih dari 3,4 juta anak di seluruh Indonesia yang sudah menerima manfaatnya. Kasus keracunan, menurut Presiden Prabowo, hanya menimpa sekitar 200 anak atau 0,005 persen dari total penerima manfaat. Secara statistik, angka ini kecil.

Namun, bagi orang tua yang anaknya menjadi korban, angka sekecil apa pun bukan alasan untuk menutup mata. Satu nyawa anak bangsa yang terancam sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Apalagi jika kasus-kasus ini sebenarnya bisa dicegah melalui persiapan matang, sertifikasi dapur, pengawasan ketat, dan pelatihan tenaga kerja.

Kisah pisang rebus mama seolah menjadi simbol sederhana tentang bagaimana pangan lokal yang alami, murah, dan sehat bisa bertahan dalam jangka panjang. Sementara itu, program besar seperti MBG yang menelan ratusan triliun rupiah justru rentan menimbulkan masalah karena tidak dipersiapkan dengan matang.

Masyarakat bukan menolak gagasan mulia MBG. Semua orang tentu ingin anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan bergizi baik. Namun, masyarakat berhak atas jaminan keselamatan, transparansi, dan standar kualitas yang jelas. Jangan sampai program besar yang lahir dari janji politik hanya menjadi alat pencitraan, sementara anak-anak bangsa dijadikan “kelinci percobaan”.

Akhirnya, pertanyaan penting muncul: apakah kita harus rela meninggalkan pisang rebus mama yang sederhana namun sehat, demi sebuah program makan bergizi yang megah tetapi penuh risiko?

Share:
Komentar

Berita Terkini