![]() |
Tgk. Zulfahmi. |
Mojokerto – Senyum itu sederhana, tapi menyimpan cerita panjang
yang penuh liku. Dari sebuah desa kecil bernama Cot Kupok di Kecamatan Baktiya
Barat, Aceh Utara, lahir kisah tentang seorang anak desa yang menolak menyerah
pada keterbatasan. Ia rela menempuh ribuan kilometer perjalanan, melintasi
budaya dan tantangan, hanya untuk satu tujuan: menggapai gelar doktor.
Namanya Tgk. Zulfahmi.
Kini, gelar doktor di Universitas KH Abdul Chalim (UAC), Mojokerto, Jawa Timur,
sudah resmi tersemat di belakang namanya. Saat toga dikenakan di kepalanya, air
mata bahagia menetes di sudut mata. Tangisan itu bukan sekadar tanda lega,
tetapi saksi bisu bahwa kerja keras, doa, dan pengorbanan mampu menembus batas
yang tak banyak orang berani lalui.
Zulfahmi lahir dari pasangan Budiman
dan Ainoel Mardhiah, keluarga sederhana yang menjunjung
tinggi pendidikan. Sang ibu dikenal tegas. "Bagi beliau, tidak ada alasan
untuk berhenti sekolah," kenangnya sambil tersenyum.
Jejak pendidikannya dimulai dari SD
Cot U Sibak, lalu berlanjut ke SMPN 1 Lhoksukon
dan SMAN 1 Lhoksukon. Selepas SMA, jalannya berbelok ke Dayah
MUDI Mesra, Samalanga—sebuah pesantren besar di Aceh. Di
situlah ia menemukan jati diri sebagai santri, belajar arti kesederhanaan,
serta memahami bahwa ilmu agama bukan hanya bekal rohani, tetapi juga fondasi
untuk melangkah lebih jauh.
“Hidup di dayah mengajarkan banyak hal. Ada peluang, ada
tantangan. Semua harus dijalani dengan ikhlas,” ujarnya.
Tahun 2018, Tgk. Fahmi mendapat amanah mengajar di Dayah
Jami’ah Al Aziziyah Batee Iliek. Tugas itu semakin meneguhkan
panggilan hidupnya: mendidik dan mengabdi. Namun, niat melanjutkan pendidikan
tinggi baru bulat pada 2020, setelah ia bersilaturahmi dengan Prof.
Dr. Muntasir A. Kadir, MA.
“Waktu itu beliau menceritakan tentang tantangan
kehidupan ke depan. Dari situlah saya mulai berpikir serius untuk menempuh
jalur doktoral,” ungkapnya.
Kesempatan emas hadir ketika Pergunu
Pusat memberikan beasiswa. Tawaran itu ia sambut dengan tekad
penuh, meski berarti harus meninggalkan kampung halaman dan menempuh perjalanan
lebih dari 3.000 kilometer ke Mojokerto, Jawa Timur.
Di UAC, kehidupannya bukan hanya sebagai mahasiswa. Di
sela kesibukan akademik, ia juga mengajar di Pondok Pesantren
Amanatul Ummah, tepatnya di Madrasatul Aliyah
Istimewa (MAI). Baginya, mengajar bukan sekadar pekerjaan,
tetapi energi baru. "Setiap kali di kelas, rasanya saya ikut belajar
kembali," ujarnya.
Santri-santrinya di MAI pun mengenalnya sebagai sosok
yang sederhana, penuh wibawa, dan dekat dengan murid. Cara mengajarnya lugas,
penuh perumpamaan, hingga pelajaran yang rumit terasa seperti mendengarkan
kisah, bukan sekadar teori.
“Kalau Tgk. Fahmi izin, kelasnya tidak bisa digantikan
oleh sembarang orang,” ungkap seorang murid. “Kalau bukan beliau, rasanya ada
yang hilang.”
Keberanian Zulfahmi juga terlihat dari topik
disertasinya. Ia memilih mengangkat sosok Syekh Abu H Hasanoel
Basri (Abu Mudi) dengan judul “Metode Syekh Abu H Hasanoel Basri dalam Pembelajaran Fikih.”
“Judul saya sempat ditolak karena tokoh yang saya angkat
dianggap tidak populer. Tapi saya yakin, Abu Mudi layak diperkenalkan lewat
karya ilmiah,” ujarnya tegas.
Perjalanan menyelesaikan disertasi bukan hal mudah.
Lingkungan baru, biaya hidup yang tidak murah, serta bimbingan ketat membuatnya
beberapa kali hampir menyerah. Namun ia selalu mengingat pesan Rasulullah: urusan baik yang sudah dimulai harus
disempurnakan.
Kerja keras itu akhirnya berbuah manis. Tgk. Zulfahmi
dinobatkan sebagai lulusan terbaik UAC Mojokerto.
Sebuah pencapaian yang ia dedikasikan untuk orang tua, guru, dan tanah
kelahirannya, Aceh.
Meski telah meraih gelar akademik tertinggi, Tgk. Zulfahmi
tidak melupakan akar tempat ia berasal. Kini ia bersiap kembali ke Aceh untuk
mengabdi sebagai dosen tetap di UNISAI Al Aziziyah, Samalanga.
Penelitiannya diharapkan dapat memperkaya metode pendidikan di dayah, sekaligus
membuka ruang integrasi antara pendidikan agama dan pendidikan formal.
“Saya ingin menunjukkan bahwa santri juga bisa
melanjutkan pendidikan formal, meski dengan segala keterbatasan,” tegasnya.
Kepada santri dan generasi muda, Tgk. Zulfahmi menitipkan
pesan penuh makna:
“Setiap kesuksesan menuntut pengorbanan, dan kesabaran
adalah kunci. Kerjakan kewajibanmu dalam keadaan apa pun, tinggalkan yang tidak
bermanfaat, dan tetaplah tabah. Dunia ini penuh pilihan: sukses atau gagal,
bahagia atau sengsara. Kamu harus menentukan di sisi mana berdiri.”
Perjalanan Tgk. Zulfahmi dari desa
Cot Kupok hingga ke podium akademik UAC Mojokerto adalah bukti
nyata bahwa asal-usul sederhana bukanlah penghalang untuk bermimpi besar. Ia
adalah gambaran bagaimana doa, kerja keras, dan ketulusan bisa mengubah jalan
hidup seseorang.
Di balik setiap gelar yang ia raih, tersimpan doa orang
tua, keteguhan seorang santri, dan keyakinan bahwa Allah selalu bersama
hamba-Nya yang tidak berhenti berusaha. Dari Cot Kupok hingga Mojokerto, kisah
ini akan terus menjadi inspirasi: bahwa pendidikan adalah cahaya yang mampu
menembus segala keterbatasan.