![]() |
Foto istimewa |
Jakarta- Pernyataan anggota DPRD Halmahera Selatan, Masdar Mansur, melalui akun Facebook pribadinya dengan menyebut: “Yang mau DPR dibubarkan itu orang GOBLOK” menimbulkan gelombang protes masyarakat. Status ini dipandang bukan sekadar ekspresi personal, melainkan penghinaan terhadap rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Koordinator Gerakan Peduli Rakyat Halmahera Selatan (GPR-HS) Sayuti Melik S. Melalui Rilis resminya pada (Jumat 26/09/2025)
Menyampaikan, Kemarahan publik yang diwujudkan dalam demonstrasi di Hal-sel menandakan bahwa pernyataan tersebut telah melampaui batas toleransi. Dalam konteks politik modern, isu ini berhubungan langsung dengan krisis legitimasi (legitimation crisis) sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas, yaitu ketika institusi politik kehilangan kepercayaan karena gagal merepresentasikan aspirasi rakyat.
Menurit Sayuti, Kasus Masdar Mansur harus diuji dengan instrumen hukum dan aturan partai:
Pertama, Prinsip PDI Perjuangan
Menegaskan bahwa setiap kader wajib menjaga martabat partai, berpegang pada ideologi Pancasila, dan berjuang untuk kepentingan rakyat kecil (marhaen).
Melarang kader untuk bersikap arogan, menghina rakyat, atau bertindak yang menciderai citra partai.Kedua, Kode Etik DPRD yang mengatur tentang anggota DPRD wajib menjaga kehormatan lembaga dan menghormati konstituen dalam ucapan dan tindakan. Ketiga, berdasarkan dengan Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
Pada Pasal 373 jo Pasal 400, yang di maksud, Partai politik berhak memberhentikan anggota DPRD yang melanggar etika dan disiplin partai.
"Dari sisi regulasi, status Masdar Mansur jelas melanggar norma etik, disiplin partai, dan hukum tata negara" Ucap Pria Asal Malut itu,
PDI Perjuangan menempatkan dirinya sebagai partai ideologis dengan akar pada Marhaenisme Bung Karno—sebuah ideologi yang menekankan keberpihakan pada rakyat kecil, penghormatan pada martabat manusia, dan penolakan terhadap segala bentuk penghinaan terhadap rakyat. Bung Karno sendiri menegaskan, tegas Sayuti.
“Partai harus menjadi penyambung lidah rakyat, bukan penyumbat lidah rakyat.”
Menurutnya, Soekarno dan Nasionalisme Kerakyatan Ideologi PDI-P bersumber dari ajaran Soekarno tentang nasionalisme yang inklusif. Dalam pidatonya (1 Juni 1945), Soekarno menegaskan bahwa politik harus bertujuan membangun keadilan sosial dan menghormati rakyat. Maka, tindakan Masdar Mansur adalah pengkhianatan terhadap marwah ideologis partai.
Satire publik kemudian muncul: “Hebat benar PDI Perjuangan, partai wong cilik yang justru membiarkan wakilnya mengolok-olok wong cilik.” Pujian ini tentu bukan penghormatan, melainkan ironi yang menyakitkan. Bila partai tidak segera bertindak, maka rakyat akan menilai PDI-P sedang memelihara kader yang merusak martabat rakyat.
Masdar Mansur melalui unggahan status di media sosialnya bukan hanya sekadar tindakan pribadi, tetapi telah menjadi persoalan politik yang menggerus legitimasi moral dan ideologis PDI Perjuangan di mata publik, khususnya rakyat Halmahera Selatan.
Jika PDI Perjuangan gagal mengambil sikap tegas terhadap Masdar Mansur, maka partai secara tidak langsung mempertaruhkan integritas ideologinya sendiri.
"Disayangkan jika sebuah partai besar yang telah terbukti kuat dalam menjaga demokrasi dan ideologi kerakyatan justru melemah karena mempertahankan kader yang secara terang benderang telah menimbulkan keresahan rakyat"
Tindakan ini bukan saja wujud konsistensi PDI Perjuangan terhadap prinsip ideologi dan disiplin organisasi, tetapi juga menjadi sinyal moral kepada rakyat Halmahera Selatan bahwa partai ini tidak akan pernah mentolerir kader yang merusak marwah politik kerakyatan.
Langkah pemecatan Masdar Mansur bukan hanya sebatas penyelesaian internal, tetapi juga sebuah manifestasi keberanian politik PDI Perjuangan untuk menjaga kepercayaan rakyat dan memperkuat komitmen ideologisnya di tengah dinamika demokrasi modern Indonesia.tandasnya.