Sistem Meritokrasi: Antara Harapan dan Kenyataan

Editor: Admin

 

Foto Istimewa

Oleh: Dr. Rahmat Sabuhari

Akademisi FEB Unkhair

Di tengah derasnya tuntutan reformasi birokrasi, satu kata kerap digaungkan sebagai obat mujarab: meritokrasi. Kata ini sederhana, tetapi sarat makna. Ia berbicara tentang sistem yang menjadikan kinerja, kompetensi, dan integritas sebagai kunci utama dalam menentukan siapa yang berhak memimpin, siapa yang pantas dipromosikan, dan siapa yang layak diberi penghargaan. Bukan soal siapa anak siapa, bukan soal dekat dengan siapa, apalagi soal loyalitas politik.

Namun mari kita jujur: apakah meritokrasi sudah benar-benar hadir dalam sistem birokrasi kita, ataukah masih sekadar jargon yang menghiasi pidato pejabat? Banyak pegawai publik yang bekerja dengan dedikasi tinggi justru terpinggirkan karena tidak punya "akses" yang tepat. Sementara itu, sebagian yang lain melesat ke jabatan strategis bukan karena prestasi, melainkan karena koneksi. Bukankah itu bentuk pengkhianatan terhadap semangat meritokrasi itu sendiri?

Meritokrasi sejatinya menuntut keterbukaan. Rekrutmen pegawai harus berbasis kompetensi yang terukur, bukan hanya sekadar tumpukan ijazah atau rekomendasi dari orang berpengaruh. Promosi jabatan harus transparan, dilandasi prestasi yang nyata, bukan karena balas jasa. Penghargaan harus konsisten diberikan kepada yang berkontribusi, bukan kepada yang pandai menyenangkan atasan. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap birokrasi akan semakin terkikis.

Manajemen sumber daya manusia di sektor publik harus berani berbenah. Pertama, reformasi sistem seleksi ASN agar benar-benar objektif, bersih dari intervensi politik. Kedua, penilaian kinerja yang tidak hanya formalitas, tetapi betul-betul mengukur kualitas pelayanan, inovasi, dan dampak kerja. Ketiga, menciptakan budaya penghargaan yang memotivasi, sehingga pegawai berprestasi merasa dihargai, sementara yang abai terhadap tanggung jawab tidak mendapat ruang untuk bersembunyi.

Tentu, menjalankan meritokrasi bukan perkara mudah. Ada resistensi dari budaya lama, ada kepentingan politik yang mencoba mencengkeram, ada keterbatasan dalam sistem evaluasi yang belum sempurna. Namun, jika kita terus menoleransi status quo, bagaimana mungkin publik bisa percaya bahwa birokrasi bekerja untuk rakyat, bukan untuk segelintir orang?

Meritokrasi bukan sekadar teori, melainkan fondasi untuk membangun birokrasi yang profesional, adaptif, dan akuntabel. Saatnya sektor publik berhenti menjadikan meritokrasi sebagai jargon kosong. Mari menjadikannya kenyataan—karena hanya dengan meritokrasi, bangsa ini bisa memastikan bahwa yang terbaiklah yang memimpin, dan pelayanan publik benar-benar berpihak pada rakyat.

Share:
Komentar

Berita Terkini